Potensi Gelatin Kitosan sebagai produk Halal Indonesia

  • 15-12-2023
  • 01:08 WITA
  • Syahrul Basri
  • Opini

Syahrul Basri
Makassar, 15 Desember 2023

 

 

Halal dan Thayyib menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pemilihan bahan makanan bagi umat Islam. Istilah “Halal” dalam tulisan ini mengacu pada beberapa produk berbasis hewan yang harus diproduksi di bawah kriteria spesifik sesuai dengan "hukum Islam" syariah. Sedangkan “Thayyib” mengandung makna bahwa produk makanan tersebut baik bagi tubuh, memenuhi syarat gizi dan sehat. Kedua istilah ini tidak lepas dari perdebatan mengenai gelatin yang pada umumnya berasal dari babi dan sapi. Sumber-sumber tradisional gelatin ini menghadirkan kekhawatiran bagi penganut agama Islam (Choi & Regenstein, 2000) di Indonesia (sebagai negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia). Komunitas ini tidak dapat menerima gelatin babi, dan gelatin daging sapi hanya dapat diterima jika telah diproses sesuai dengan persyaratan agama atau ketika sapi, kambing domba dan unta disembelih menurut ajaran Islam (Fuseini, Knowles, Lines, Hadley, & Wotton, 2016)

Hal ini menimbulkan ketertarikan pada sumber alternatif gelatin halal semakin meningkat karena meningkatnya kekhawatiran di kalangan industri dan konsumen. Meningkatnya permintaan gelatin halal dalam makanan halal, dan penolakan terhadap sumber-sumber gelatin haram (terutama gelatin babi) telah mendorong para ilmuwan untuk mencari sumber-sumber alternatif. Gelatin ikan telah dipelajari secara luas dalam dekade terakhir oleh banyak lembaga di seluruh dunia (Gómez-Guillén, B, Ma, & Montero, 2011) .

Tidak hanya dari segi Halal, sumber-sumber alternatif gelatin ini perlu pula diketahui aspek thayyib di dalamnya agar dapat memenuhi aspek fungsional pada makanan. Hal ini disebabkan konsumsi makanan berbasis laut telah tumbuh terus menerus. Konsumen mengidentifikasi makanan laut sebagai makanan bergizi dan lengkap. Oleh karena itu, mereka dianggap sebagai sumber protein berkualitas tinggi dan lipid berharga dengan jumlah asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) yang tinggi. Senyawa-senyawa ini dikenal berkontribusi pada peningkatan kesehatan manusia dengan mekanisme yang berbeda, seperti mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, penyakit jantung, dan hipertensi. Selain itu, produk makanan berbasis laut mudah dicerna dan merupakan sumber mineral esensial yang sangat baik (Alishahi & Aïder, 2012) . 

Kesadaran akan pentingnya diet dan kesehatan terus meningkat pada masyarakat. Kondisi ini menuntut para ilmuan untuk mengembangkan inovasi pangan yang beragam, tahan, sehat dan bersumber dari potensi yang dimiliki. Indonesia sebagai negara maritim memiliki potensi produksi perikanan kedua terbesar pada tahun 2016, dengan jumlah total produksi lebih enam juta ton pada tahun 2014, menjadikan potensi produksi juga besar (Food and Agriculture Organization (FAO), 2016; California Environmental Associates, 2016). Dari sisi ketahanan pangan, potensi perikanan ini dapat menghasilkan sisik ikan yang dapat dimanfaatkan menjadi gelatin.

Meskipun beberapa gelatin ikan tersedia secara komersial, namun karakteristiknya kurang baik dibanding gelatin babi atau sapi. Untuk aplikasi makanan, kekuatan gel dan viskositas adalah sifat paling penting yang menjadi ciri gelatin (Choi & Regenstein, 2000).  Nilai Bloom memberikan ukuran kekuatan gelatin, diklasifikasikan sebagai rendah (?150 g), sedang (?150-220 g), dan tinggi (?220–300 g) (Al-Kahtani, et al., 2017). Beberapa penelitian tentang gelatin dengan sumber ikan di Indonesia menunjukkan bahwa kekuatan gel berada pada klasifikasi sedang dan rendah (Saputra, Widiastuti, & Supriadi, 2015; Gunawan, Supitjah, & Uju, 2017; Nasution, Harmita, & Harahap, 2018).

Penelitian tentang pembuatan gelatin ikan dan modifikasinya telah banyak didokumentasikan (Begoña Gimenez, 2005; Ilona Kolodziejska, 2004; Mohammad Hani Norziah, 2009). Ilona Kolodziejska (2004) telah memodifikasi gelatin dari ikan cod menggunakan enzim transglutaminase. Gelatin juga dapat diperbaiki membentuk crosslink. Pembentukannya berdasarkan reaksi oksidasi reduksi. Bahan-bahan yang telah sering digunakan adalah derivat sakarida (sukrosa, glukosa, selulosa dst), senyawa fenolik alam (turmeric, gallic acid, genistin, dst) (Kaido Siimon, 2014; Rajalaxmi Dash, 2013; Jalaja K., 2015; Tavassoli-Kafrani, Goli, & Fathi, 2017). Gelatin cross link yang terbentuk memiliki kekuatan gel dan viskositas yang meningkat. Sifat polimer juga mengalami perbaikan. Selain berdasarkan reaksi oksidasi reduksi,cross-link juga dapat dibentuk dengan reaksi enzimatik.

Gelatin dapat ditingkatkan gel-strenght dengan modifikasi nanocomposite. Penelitian  menggunakan kitin sebagai bahan untuk dicampurkan dengan gelatin, dan meningkatkan kemampuan mekanik polimer (Ge, et al., 2017) . penelitian lain melaporkan pembuatan nanokomposit gelatin, nanoselulosa dengan kitosan, juga menghasilkan film dengan peningkatan tensile break (Noorbakhsh-Soltani, Zerafat, & Sabbaghi, 2018) .

Kitosan adalah ekstrak kulit binatang berkulit keras seperti udang dan kepiting. Kitosan banyak digunakan pada berbagai aplikasi, hal tersebut dikarenakan adanya gugus amino pada posisi C2 dan juga karena gugus hidroksil primer dan sekunder pada posisi C3 dan C6. Kitosan adalah turunan yang paling sederhana dari kitin. Tidak seperti polisakarida, kehadiran gugus amino bermuatan positif yang terdapat sepanjang ikatan pilernya menyebabkan molekul dapat mengikat muatan negatif permukaan melalui ikatan ionik atau hydrogen. Sehingga kitosan memiliki sifat kimia linier plyamine (poly D-glucosamine), gugus amino yang reaktif, gugus hydroksi yang reaktif.

Pada industri makanan, gelatin digunakan sebagai bahan penstabil, pembentuk gel, dan edible coating (Schreiber & Gareis, 2007). Sejauh ini, Gelatin ikan sebagai pengganti potensial untuk gelatin babi dan sapi (dengan sifat yang cukup mirip dengan gelatin babi) dalam banyak aplikasi makanan dan dapat memperluas pasar gelatin ke beberapa kelompok agama yang saat ini tidak dapat menerima gelatin babi dan sapi. Selain itu, gelatin ikan memiliki aroma yang lebih baik dan memberikan rasa yang lebih kuat, gelatin dapat menawarkan peluang baru bagi pengembang produk (Choi & Regenstein, 2000).

Penggunaan chitosan di industri makanan sudah terkenal karena tidak beracun untuk hewan berdarah panas. Microcrystalline chitin (MCC) menunjukkan sifat pengemulsi yang baik, penebalan yang unggul, dan zat pembentuk gel untuk menstabilkan makanan. Ini juga digunakan sebagai serat makanan dalam makanan yang dipanggang. Penggunaan MCC memecahkan beberapa masalah seperti, rasa, warna, dan umur simpan, yang ditimbulkan oleh sumber serat lainnya. Ini bisa menjadi penting khusus untuk pembuatan roti yang difortifikasi protein, bahkan tanpa bahan seperti pengemulsi dan pemendekan. Kitin dan kitosan bertindak sebagai penopang kokoh bagi jebakan seluruh imobilisasi mikroba, hewan, atau sel tumbuhan. Kitin telah digunakan dalam imobilisasi enzim. Ini dapat digunakan sebagai pembawa yang tidak dapat diserap untuk bahan makanan yang sangat pekat, misalnya (Pewarna makanan dan nutrisi) (Dutta, Dutta, & Tripathi, 2004).

Penelitian kitosan sebagai agent hypocholesterolemic pada tikus pernah diteliti pada tahun 1980-an (Sugano M, Fujikawa T, Hiratsuji Y, Nakashima K, Fukuda N, & et.al, 1980; Sugano M, Watanabe S, Kishi A, Izume M, & Ohtakara A, 1988). i 5 gr kitosan didalam 50 ml lemak kambing berpengaruh terhadap prosentase penyerapan kolesterol sebanyak 30,93% dan waktu operasi 60 menit menunjukkan derajad penyerapan kolesterol sebesar 45,46% (Hargono, Abdullah, & Sumantri, 2008). Penulis menyadari bahwa potensi untuk penurunan kolesterol membutuhkan studi lengkap tentang metabolisme kitin dan kitosan dalam tubuh manusia, oleh karena itu, penggunaan polimer ini dalam industri pengolahan makanan masih perlu dieksplorasi lebih lanjut.

 Penelitian tentang diet tinggi protein untuk meningkatkan sekresi insulin pernah dilaporkan dengan hasil turunnya glukosa darah postprandial dan hemoglobin terglikasi pada diabetes tipe 2 (Gannon MC, Nuttall FQ, Saeedd A, Jordan K, & Hoover H, 2003), selain itu,  penambahan 25 g protein (dari sumber seperti daging, ikan, atau gelatin) ke 50-g glukosa oral menurunkan respon glukosa darah berikutnya pada pasien diabetes tipe 2 (sebesar _30% dengan gelatin), sedangkan itu meningkatkan insulin plasma (sekitar 2,5 kali dengan gelatin) bila dibandingkan dengan glukosa saja (Gannon MC, Nuttal FQ, Neil BJ, & Westphal SA, 1988). Berdasarkan penelitian I G Rubio et.al (2008) menyimpulkan bahwa a single gelatin meal induces a rise in plasma GLP-1 followed by an increase in serum levels of insulin (Rubio, Castro, Zanini, & et.al, 2008).

 

Referensi

Alishahi, A., & Aïder, M. (2012). Applications of Chitosan in the Seafood Industry and Aquaculture: A Review. Food Bioprocess Technol, 5, 817–830.

Al-Kahtani, H., Jaswir I., Ismael E.A., Ahmed M.A., Hammed A.M., Olorunnisola, S., et al. (2017). Structural characteristics of camel-bone gelatin by demineralization and extraction. Int. J. of Food Prop., 20, 2559-2568.

Begoña Gimenez, M. C.-G. (2005). Storage of dried fish skins on quality characteristics of extracted gelatin. Food Hydrocolloids, 19(6), 958-963.

California Environmental Associates. (2016). Indonesia Fisheries : 2015 Review.

Choi, S.-S., & Regenstein, J. (2000). Physicochemical and Sensory Characteristics of Fish Gelatin. Journal of Food Science, 65(2), 194-199.

Dutta, P. K., Dutta, J., & Tripathi, V. (2004). Chitin and chitosan: Chemistry, properties and applications. Journal of Scientific & Industrial Research, 63(January 2004), 20-31.

Food and Agriculture Organization (FAO). (2016). The State of World Fisheries and Aquaculture.

Fuseini, A., Knowles, T., Lines, J., Hadley, P., & Wotton, S. (2016). The stunning and slaughter of cattle within the EU: A review of the current situation with regard to the halal market. Anim. Welfare, 25, 365-376.

Gannon MC, Nuttal FQ, Neil BJ, & Westphal SA. (1988). The insulin and glucose responses to meals of glucose plus various proteins in type II diabetic subjects. Metabolism, 37:1081– 8.

Gannon MC, Nuttall FQ, Saeedd A, Jordan K, & Hoover H. (2003). An increase in dietary protein improves the blood glucose response in persons with type 2 diabetes. Am J Clin Nutr, 78(7), 34–41.

Ge, S., Liu, Q., Li, M., Liu, J., Lu, H., Li, F., et al. (2017). Enhanced mechanical properties and gelling ability of gelatin hydrogels reinforced with chitin whiskers. Food Hydrocolloids, 23.

Gómez-Guillén, M., B, G., Ma, L.-C., & Montero, M. (2011). Functional and bioactive properties of collagen and gelatin from alternative sources: A review. Food Hydrocolloids, 25, 1813-1827.

Gunawan, F., Supitjah, P., & Uju. (2017). Extraction and Characterization Gelatin of Skin Mackerel (Scomberomorus commersonii) From Province Bangka Belitung Island. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, 20(3), 568-581.

Hargono, Abdullah, & Sumantri, I. (2008). Pembuatan Kitosan Dari Limbah Cangkang Udang Serta Aplikasinya Dalam Mereduksi Kolesterol Lemak Kambing. Reaktor, 12(1), 53-57.

Ilona Kolodziejska, K. K. (2004). Modification of the properties of gelatin from skins of Baltic cod (Gadus morhua) with transglutaminase. Food Chemistry, 86(2), 203-209.

Jalaja K., N. J. (2015). Electrospun gelatin nanofibers: A facile cross-linking approach usingoxidized sucrose. International Journal of Biological Macromolecules, 73, 270-278.

Kaido Siimon, P. R. (2014). Effect of glucose content on thermally cross-linked fibrous gelatin scaffolds for tissue engineering. Materials Science and Engineering, C(42), 538-545.

Mohammad Hani Norziah, A. A.-H. (2009). Characterization of fish gelatin from surimi processing wastes: Thermal analysis and effect of transglutaminase on gel properties. Food Hydrocolloids, 23((6),), 1610-1616.

Nasution, A. Y., Harmita, & Harahap, Y. (2018). Characterization of Gelatin Extracted from Catfish Skin (Pangasius hypophthalmus) with Acid and Alkaline Pretreatment. Pharmaceutical Sciences and Research (PSR), 5(3), 142-151.

Noorbakhsh-Soltani, S., Zerafat, M., & Sabbaghi, S. (2018). A comparative study of gelatin and starch-based nano-composite films. Carbohydrate Polymers, 189, 48-55.

Rajalaxmi Dash, M. F. (2013). Improving the mechanical and thermal properties of gelatin hydrogels cross-linked by cellulose nanowhiskers. Carbohydrate Polymers, 91(2), 638-645.

Rubio, I., Castro, G., Zanini, A., & et.al. (2008). Oral ingestion of a hydrolyzed gelatin meal in subjects with normal weight and in obese patients: Postprandial effect on circulating gut peptides, glucose and insulin. Eat Weight Disord, 13, 48-53.

Saputra, R. H., Widiastuti, I., & Supriadi, A. (2015). Physical and Chemical Characteristics of Cat Fish (Pangasius pangasius) Skin Gelatin with Various Combination of Acid and Temperature. Fishtech - Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, 4(1), 29-36.

Schreiber, R., & Gareis, H. (2007). Gelatine handbook. Weinhem: Wiley-VCH GmbH and Co.

Sugano M, Fujikawa T, Hiratsuji Y, Nakashima K, Fukuda N, & et.al. (1980). A novel use of chitosan as a hypocholesterolemic agent in rats. Am J Clin Nutr, 33, 787-793.

Sugano M, Watanabe S, Kishi A, Izume M, & Ohtakara A. (1988). Hypocholesterolemic action of chitosans with eifferent viscosity in rats. Lipids, 23, 187-191.

Tavassoli-Kafrani, E., Goli, S. A., & Fathi, M. (2017). Fabrication and characterization of electrospun gelatin nanofiberscrosslinked with oxidized phenolic compounds. International Journal of Biological Macromolecules, 103, 1062–1068.

Zhang JL, Zhang W, Mamadouba B, & Xia WS. (2012). A comparative study on hypolipidemic activities of high and low molecular weight chitosan in rats. Int J Biol Macromol, 51, 504-508.