PENDAHULUAN
Pelayanan
kesehatan, gizi, obat, dan makanan merupakan komponen vital dalam sistem
kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dalam
upaya mencapai tujuan ini, pemerintah merumuskan berbagai kebijakan yang
mendukung program-program strategis guna menghadapi tantangan kesehatan yang
kompleks dan beragam. Analisis kebijakan dalam program pelayanan kesehatan
menjadi penting untuk memastikan efektivitas, efisiensi, dan keberlanjutan
program-program tersebut.Salah
satu kebijakan penting adalah Program Percepatan Penurunan Stunting. Stunting
merupakan masalah kesehatan yang signifikan di Indonesia, terutama di kalangan
anak-anak, yang memiliki dampak jangka panjang terhadap perkembangan fisik dan
kognitif anak. Kebijakan ini dirancang untuk mengatasi masalah stunting melalui
intervensi gizi yang komprehensif, peningkatan akses terhadap layanan
kesehatan, serta edukasi masyarakat mengenai pentingnya asupan gizi seimbang.
Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat memberikan fondasi yang kuat
untuk masa depan anak-anak Indonesia.
Selain
itu, Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi juga memegang peranan
krusial dalam memastikan kesehatan masyarakat. Kebijakan ini bertujuan untuk
memastikan ketersediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan pangan yang bergizi
melalui pengembangan sistem pangan yang berkelanjutan, peningkatan produksi
pangan lokal, serta penguatan sistem distribusi pangan. Upaya ini sejalan
dengan tujuan Program Percepatan Penurunan Stunting, karena ketersediaan pangan
yang bergizi merupakan salah satu kunci utama dalam mencegah malnutrisi dan
penyakit terkait gizi.Dalam
menghadapi ancaman kesehatan lainnya, Kebijakan Program Penanggulangan Penyakit
Menular menjadi sangat relevan. Penyakit menular seperti tuberculosis, malaria,
dan HIV/AIDS tetap menjadi ancaman signifikan di Indonesia. Program ini
mencakup kampanye imunisasi, peningkatan kapasitas laboratorium, serta
penguatan sistem surveilans epidemiologi untuk mengidentifikasi dan merespons
wabah penyakit dengan cepat dan efektif. Keterkaitan antara kebijakan ini
dengan kebijakan ketahanan pangan dan gizi juga terlihat, karena penanggulangan
penyakit menular memerlukan masyarakat yang sehat dan bergizi baik.Selanjutnya,
Kebijakan Program Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer bertujuan untuk
menyatukan berbagai layanan kesehatan dasar menjadi satu kesatuan yang
terkoordinasi. Ini termasuk layanan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif. Dengan mengintegrasikan layanan ini, diharapkan masyarakat dapat
mengakses pelayanan kesehatan yang komprehensif dan berkualitas di tingkat
primer. Program ini mendukung kebijakan lainnya dengan memastikan bahwa semua
aspek pelayanan kesehatan terkoordinasi dengan baik dan mudah diakses oleh
masyarakat. Akhirnya, Kebijakan Program Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
menetapkan standar pelayanan yang harus dipatuhi oleh apotek dalam menyediakan
obat. Ini mencakup aspek pengelolaan obat, pemberian informasi obat kepada
pasien, serta pemantauan dan evaluasi penggunaan obat. Standar ini dirancang
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian dan memastikan bahwa
masyarakat menerima terapi obat yang tepat dan aman. Kebijakan ini melengkapi
program integrasi pelayanan kesehatan primer dengan memastikan bahwa aspek
farmasi dalam pelayanan kesehatan juga memenuhi standar yang ditetapkan.Secara
keseluruhan, analisis kebijakan dalam program pelayanan kesehatan, gizi, obat,
dan makanan merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang
dirumuskan dapat memberikan dampak positif yang maksimal bagi kesehatan
masyarakat. Melakukan kajian terhadap kebijakan dalam program pelayanan
kesehatan, gizi, obat, dan makanan adalah langkah yang sangat penting untuk
memastikan kebijakan-kebijakan tersebut efektif dalam mencapai tujuannya.
Kajian ini memungkinkan pemerintah untuk mengidentifikasi kelemahan dan
kekuatan dari kebijakan yang telah diterapkan, sehingga dapat dilakukan
penyesuaian dan perbaikan yang diperlukan. Dengan pemahaman yang mendalam
tentang dampak dan implementasi kebijakan, pemerintah dapat mengarahkan sumber
daya secara lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Selain
itu, kajian kebijakan juga penting untuk memastikan bahwa intervensi yang
dilakukan berdasarkan bukti ilmiah dan praktik terbaik, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Melalui kajian yang
berkelanjutan, kebijakan-kebijakan ini dapat terus ditingkatkan dan disesuaikan
dengan dinamika sosial dan tantangan kesehatan yang terus berkembang,
memastikan bahwa pelayanan kesehatan, gizi, obat, dan makanan selalu relevan
dan efektif dalam menjawab kebutuhan masyarakat.Kajian
ini bertujuan mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan kebijakan yang telah
diterapkan, serta memberikan rekomendasi perbaikan berbasis bukti untuk
meningkatkan efektivitasnya. Selain itu, kajian ini memastikan implementasi
kebijakan yang optimal dan mengarahkan sumber daya secara efisien. Melalui
kajian ini, dapat diukur sejauh mana kebijakan telah mencapai tujuan seperti
penurunan stunting, peningkatan ketahanan pangan, penanggulangan penyakit
menular, integrasi pelayanan kesehatan primer, dan peningkatan standar
pelayanan kefarmasianI. KEBIJAKAN
PROGRAM PERCEPATAN PENURUNAN STUNTINGStunting adalah gangguan pertumbuhan dan
perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang
ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar yang
ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan. Percepatan Penurunan Stunting adalah setiap upaya yang mencakup
Intervensi Spesifik dan Intervensi Sensitif yang dilaksanakan secara konvergen,
holistik, integratif, dan berkualitas melalui kerja sarra multisektor di pusat,
daerah, dan desa. Intervensi Spesifik adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk
mengatasi penyebab langsung terjadinya Stunting. Intervensi Sensitif adalah
kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab tidak langsung terjadinya
Sfinting.Strategi
nasional percepatan penurunan stunting adalah langkah-langkah berupa 5 (lima)
pilar yang berisikan kegiatan untuk Percepatan Penurunan Stunting dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan melalui pencapaian target nasional
prevalensi Stunting yang diukur pada anak berusia di bawah 5 (lima) tahun. Stranas
Stunting mengadopsi kerangka penyebab masalah gizi, yaitu “The Conceptual
Framework of the Determinants of Child Undernutrition”13, “The Underlying
Drivers of Malnutrition” dan “Faktor Penyebab Masalah Gizi Konteks
Indonesia”.Kebijakan
penurunan stunting mengacu pada Peraturan Presiden no.72 Tahun 2021. Pencegahan
stunting menitikberatkan pada penanganan penyebab masalah gizi, yaitu faktor
yang berhubungan dengan ketahanan pangan khususnya akses terhadap pangan
bergizi (makanan), lingkungan sosial yang terkait dengan praktik pemberian
makanan bayi dan anak (pengasuhan), akses terhadap pelayanan kesehatan untuk
pencegahan dan pengobatan (kesehatan), serta kesehatan lingkungan yang meliputi
tersedianya sarana air bersih dan sanitasi (lingkungan). Keempat faktor
tersebut secara tidak langsung mempengaruhi asupan gizi dan status kesehatan
ibu dan anak. Intervensi terhadap keempat faktor tersebut diharapkan dapat
mencegah malnutrisi, baik kekurangan maupun kelebihan gizi.Penyebab
tidak langsung masalahs tunting dipengaruhi oleh berbagai faktor, meliputi pendapatan
dan kesenjangan ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi, sistem pangan,
jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian, dan pemberdayaan
perempuan. Untuk mengatasi penyebab stunting, diperlukan prasyarat pendukung
yang mencakup: (a) Komitmen politik dan kebijakan untuk pelaksanaan; (b)
Keterlibatan pemerintah dan lintas sektor; dan (c) Kapasitas untuk
melaksanakan. Gambar 1-1 menunjukkan bahwa pencegahan stunting memerlukan
pendekatan yang menyeluruh, yang harus dimulai dari pemenuhan prasyarat
pendukung.A. Tujuan KebijakanStrategi
Nasional Percepatan Penurunan Stunting bertujuan untuk:1) Menurunkan
prevalensi Stunting2) Meningkatkan
kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga3) Menjamin
pemenuhan asupan gizi 4) Memperbaiki
pola asuh5) Meningkatkan
akses dan mutu pelayanan Kesehatan, dan 6) Meningkatkan
akses air minum dan sanitasi. Pelaksanaan
percepatan penurunan stunting dilaksanakan untuk mencapai target tujuan
pembangunan berkelanjutan pada tahun 2030 dengan kelompok sasaran meliputi: remaja, calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, anak berusia 0 (nol)
- 59 (lima puluh sembilan) bulan. Pencapaian target tujuan pembangunan
berkelanjutan dilaksanakan melalui pencapaian target nasional prevalensi
Stunting yang diukur pada anak berusia di bawah 5 (lima) tahun. Prevalensi Stunting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat 21 pada peraturan presiden no.72 tahun 2021 ditetapkan target antara yang harus dicapai
sebesar l4%o (empat belas persen) pada tahun 2024. B. Subyek
(Pelaku dan Pembuat Kebijakan)Pelaksanaan
kebijakan percepatan penurunan stunting di Indonesia, terlibat beberapa subyek
atau pihak yang berperan dalam proses perumusan, implementasi, dan pengawasan
program ini. Tim percepatan penurunan stunting terdiri atas pengarah dan pelaksana.
Pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) bertugas :1) memberikan
arahan terkait penetapan kebijakan penyelenggaraan Percepatan Penurunan
Stunting;2) memberikan
pertimbangan, saran, dan rekomendasi dalam penyelesaian kendala dan hambatan
penyelenggaraan Percepatan Penurunan Shtnting; dan 3) melaporkan
penyelenggaraan Percepatan Penurunan Stunting kepada Presiden 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan. Pelaksana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) bertugas :1) menyiapkan
perumusan rencana aksi nasional penyelenggaraan Percepatan Penuru nan Stunting; 2) melakukan
koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi program dan kegiatan Percepatan
Penurunan Stunting kementerian dan lembaga, Pemerintah Daerah provinsi,
Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Desa, dan Pemangku Kepentingan;
3) menyiapkan
perumusan penyelesaian kendala dan hambatan penyelenggaraan Percepatan
Penurunan Shmting; 4) mengoordinasikan
Pemantauan dan Evaluasi penyelenggaraan Percepatan Penuru nan Stunting; 5) mengoordinasikan
peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia kementerian/lembaga,
Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dan Pemerintah
Desa dalam penyelenggaraan Percepatan Penurunan Stunting; dan 6) mengoordinasikan
peningkatan kerja sama dan kemitraan dengan Pemangku Kepentingan dalam
penyelenggaraan Percepatan Penuru nan Stunting. Pelaksanaan
penyelenggaraan percepatan penrunan stunting di Tingkat Provinsi, gubernur menetapkan tim percepatan tingkat
provinsi. Tim Percepatan bertugas mengoordinasikan, menyinergikan, dan
mengevaluasi penyelenggaraan Percepatan penurunan stunting secara efektif,
konvergen, dan terintegrasi dengan melibatkan lintas sektor di tingkat provinsi.
Susunan keanggotaan tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat provinsi
disesuaikan dengan kebutuhan Pemerintah Daerah provinsi. Dalam
rangka menyelenggarakan Percepatan Penurunan Stunting di tingkat
kabupaten/kota, bupati/wali kota menetapkan tim Percepatan Penurunan Shtnting
tingkat kabupaten/ kota. Tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat
kabupaten/kota bertugas mengoordinasikan, menyinergikan, dan mengevaluasi
penyelenggaraan Percepatan Penurunan Stunting di tingkat kabupaten/ kota dan
kecamatan. (3) Tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (21 terdiri atas perangkat daerah dan Pemangku
Kepentingan, termasuk Tim Penggerak Pemberdayaan Kesej ahteraan Keluarga (TP-
PKK). Susunan keanggotaan tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat kabupaten /
kota disesuaikan dengan kebutuhan Pemerintah Daerah kabupaten I kota.Koordinasi
Penyelenggaraan di Tingkat Desa/Kelurahan. Dalam rangka menyelenggarakan
Percepatan Penurunan Stunting di tingkat desa/kelurahan, kepala desa/lurah
menetapkan tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat desa/ kelurahan. Tim
Percepatan Penurunan Stunting tingkat desa/kelurahan bertugas mengoordinasikan,
menyinergikan, dan mengevaluasi penyelenggaraan Percepatan Penurunan Sfimting
di tingkat desa/kelurahan. Tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat desa/
kelurahan melibatkan :a. tenaga
kesehatan paling sedikit mencakup bidan, tenaga gizi, dan tenaga kesehatan
lingkunganb. Penyuluh
Keluarga Berencana dan/atau Petugas Lapangan Keluarga Berencana;c. Tim
Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK); d. Pembantu
Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) dan/ atau Sub-PPKBD/ Kader Pembangunan
Manusia (KPM), kader, dan/atau unsur masyarakat lainnya. C. Implementasi Adapun
implementasi pelaksanaan program percepatan penurunan stunting melaui upaya
intervensi spesifik dan sensitif. Intervensi
gizi spesifik menyasar penyebab stunting yang meliputi: 1) Kecukupan asupan
makanan dan gizi; 2) Pemberian makan, perawatan dan pola asuh; dan 3)
Pengobatan infeksi/penyakit. Terdapat tiga kelompok intervensi gizi spesifik:a. Intervensi
prioritas, yaitu intervensi yang diidentifikasi memiliki dampak paling besar
pada pencegahan stunting dan ditujukan untuk menjangkau semua sasaran prioritasb. Intervensi
pendukung, yaitu intervensi yang berdampak pada masalah gizi dan kesehatan lain
yang terkait stunting dan diprioritaskan setelah intervensi prioritas
dilakukan.
c. Intervensi
prioritas sesuai kondisi tertentu, yaitu intervensi yang diperlukan sesuai
dengan kondisi tertentu, termasuk saat darurat bencana (program gizi darurat). Intervensi
gizi sensitif mencakup: (a) Peningkatan akses pangan bergizi; (b) Peningkatan
kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak; (c) Peningkatan
akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; dan (d) Peningkatan penyediaan
air bersih dan sarana sanitasi. Intervensi gizi sensitif umumnya dilaksanakan
di luar Kementerian Kesehatan. Sasaran intervensi gizi sensitif adalah keluarga
dan masyarakat umum.II. KEBIJAKAN
STRATEGIS KETAHANAN PANGAN DAN GIZI Seiring perubahan
arah pembangunan ketahanan pangan dunia yang mengintegrasikan pendekatan
ketahanan pangan dan ketahanan gizi, kebijakan strategis di bidang ketahanan
pangan dan gizi nasional sudah selayaknya mengadopsi pendekatan ini karena
beberapa 5 alasan. Pertama, masalah gizi di Indonesia sebagai outcome dari
situasi ketahanan pangan dan ketahanan gizi masih sangat serius. Kondisi ini
dicirikan oleh tingginya prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek pada
anak dibawah dua tahun), kegemukan pada anak balita dan orang dewasa,
defisiensi zat gizi mikro (kurang vitamin A, anemia gizi besi dan gangguan
akibat kekurangan iodium) serta semakin meningkatnya prevalensi penyakit tidak
menular (PTM) karena buruknya pola konsumsi pangan masyarakat. Kedua, prevalensi
masalah gizi dan PTM masih sangat tinggi.Kondisi ini
terkait dengan persoalan-persoalan yang mendasarinya, yaitu masih relatif
rendahnya kualitas (komposisi dan keamanan) pangan yang tersedia, keterbatasan
akses pangan baik secara fisik maupun ekonomi karena terbatasnya daya beli,
buruknya lingkungan fisik dan lingkungan (akses air bersih, higiene dan
sanitasi lingkungan), pola asuh yang buruk sebagai akibat rendahnya pendidikan
dan pengetahuan, dan keterbatasan akses layanan kesehatan. Mempertimbangkan
kondisi di atas, pembangunan ketahanan pangan dan gizi di Indonesa pada masa
mendatang, khususnya pada periode 2020-2024 harus menggunakan pendekatan sistem
agar keterkaitan pembangunan lintas sektor dapat terjadi dan sinergitas antar
sektor dapat tercapai melalui suatu koordinasi lintas sektor. Koordinasi
tersebut dapat dilakukan melalui kelembagaan Dewan Ketahanan Pangan. Gambar 1
di bawah ini menyajikan Kerangka Pikir pendekatan lintas sektor pembangunan
ketahanan pangan dan gizi secara sistemik. Pendekatan ini diarahkan untuk
mewujudkan ketersediaan pangan yang memadai melalui produksi pangan domestik
dan perdagangan; tercapainya stabilitas ketersediaan dan akses pangan secara
makro-meso dan mikro, tercukupinya kualitas (keragaman dan keamanan pangan) dan kuantitas konsumsi
pangan yang didukung oleh perbaikan infrastruktur untuk mencegah merebaknya
penyakit infeksi melalui peningkatan akses air bersih dan perbaikan lingkungan.
Untuk mewujudkan kondisi tersebut, diperlukan dukungan kebijakan ekonomi makro
yang mampu mewujudkan stabilitas ekonomi menjamin stabitas pasokan dan harga
pangan. Dukungan berbagai kebijakan lainnya diperlukan guna memberikan stimulus
produksi pangan; menjaga stabilitas politik; mengimplementasikan perdagangan
internasional dan domestik yang adil; meningkatkan kualitas infrastruktur dan
teknologi yang bukan hanya mampu meningkatkan produksi pangan tetapi juga
menekan kehilangan pangan di tingkat petani, pedagang/distributor, dan rumah
tangga. A. Tujuan KebijakanKebijakan
Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi 2020-2024 memiliki beberapa tujuan yang
penting untuk memastikan ketersediaan pangan yang cukup dan gizi yang memadai
bagi seluruh penduduk. Tujuan penyusunan Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan
dan Gizi (KSKPG) 2020-2024 ini ialah:1) Sebagai
acuan (common platform) bagi para pemangku kepentingan di bidang pangan dan
gizi, mulai dari instansi pemerintah di pusat dan daerah; sektor swasta dan
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perguruan tinggi dan organisasi profesi; 7
kelembagaan dan organisasi petani, peternak, pembudidaya ikan, nelayan; jasa
pelayanan masyarakat bidang pangan, gizi, dan kesehatan dalam peran dan
upayanya untuk memberikan kontribusi yang optimal dalam pembangunan ketahanan
pangan dan gizi;2) Sebagai
acuan dasar bagi lembaga pemerintah dan pemerintah daerah untuk membangun
koordinasi lintas sektor sehingga terjadi sinergi program dan kegiatan
pembangunan ketahanan pangan dan gizi mendukung terwujudnya sumberdaya manusia
yang berkualitas dan berdayasaing; 3) Sebagai
dasar bagi kementerian dan lembaga di tingkat pusat dan pemerintah daerah
provinsi dan kabupaten/kota untuk menyusun kebijakan, program, dan anggaran
yang memadai dalam mewujudkan sasaran pembangunan ketahanan pangan dan gizi. B. Subyek
(Pelaku dan Pembuat Kebijakan)Dalam konteks
subyek sebagai pelaku dan pembuat kebijakan strategis ketahanan pangan dan gizi
2020-2024, kita dapat mengidentifikasi beberapa aktor yang terlibat dalam
implementasi kebijakan tersebut. Berikut adalah beberapa di antaranya: 1. Pemerintah
PusatPemerintah
pusat memiliki peran sentral dalam merumuskan kebijakan strategis,
mengalokasikan anggaran, serta mengkoordinasikan implementasi program-program
ketahanan pangan dan gizi. Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, dan
lembaga terkait lainnya bertanggung jawab atas aspek-aspek tertentu dari
kebijakan ini.2. Pemerintah
Daerah Pemerintah
daerah memiliki tanggung jawab dalam mengimplementasikan kebijakan strategis
ketahanan pangan dan gizi di tingkat lokal. Mereka dapat mengadaptasi kebijakan
nasional sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal serta mengalokasikan sumber
daya untuk mendukung program-program tersebut di tingkat daerah.3. Petani
dan Produsen Pangan Petani
dan produsen pangan memainkan peran kunci dalam memproduksi pangan yang
mencukupi untuk memenuhi kebutuhan populasi. Mereka perlu didukung dengan
kebijakan dan program yang mendorong peningkatan produktivitas, akses terhadap
input pertanian, dan penguatan kapasitas teknis.4. Masyarakat
Sipil Organisasi
non-pemerintah, LSM, dan kelompok masyarakat lainnya memiliki peran penting
dalam mendukung implementasi kebijakan ketahanan pangan dan gizi melalui
advokasi, pemantauan, dan partisipasi dalam program-program komunitas.5. Sektor
Swasta Perusahaan-perusahaan
di sektor swasta, termasuk perusahaan pertanian, industri pangan, dan ritel,
juga memiliki peran dalam menyokong ketahanan pangan dan gizi melalui
investasi, inovasi produk, dan keterlibatan dalam rantai pasok pangan.6. Institusi
Akademis dan Riset Institusi
akademis dan penelitian memiliki peran dalam menyediakan pengetahuan dan
teknologi terbaru dalam bidang pertanian, gizi, dan kebijakan pangan, serta
mendukung pengembangan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan. C. Implementasi Implementasi kebijakan
strategis yang disusun mencakup aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan
pangan dan pesmanfaatan pangan dengan memperhatikan keamanan pangan pada setiap
aspek ketahanan pangan dan gizi.1. Ketersediaan
Pangana. Meningkatkan
Produksi Pangan yang Beragam b. Memperkuat
cadangan pangan untuk antisipasi ancaman ketersediaan pangan c. Menyediakan
Pangan yang Aman 2. Keterjangkauan
Pangan a. Keterjangkauan
Fisikb. Keterjangkauan
Ekonomi c. Keterjangkauan
Sosial3. Pemanfaatan
Pangan a. Pemenuhan
Kebutuhan Gizib. Memperkuat
Sistem Surveilan Pangan dan Gizi c. Jaminan
Keamanan Pangan4. Penguatan Kelembagaan
Pangan dan Gizi III. KEBIJAKAN
PROGRAM PENANGGULANGAN PENYAKIT TIDAK MENULARPenyakit
tidak menular menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan kesakitan,
kecacatan dan kematian yang tinggi, serta menimbulkan beban pembiayaan
kesehatan sehingga perlu dilakukan penyelenggaraan penanggulangan melalui
pencegahan, pengendalian dan penanganan yang komprehensif, efisien, efektif,
dan berkelanjutan. Penyakit Tidak
Menular yang selanjutnya disingkat PTM adalah penyakit yang tidak bisa
ditularkan dari orang ke orang, yang perkembangannya berjalan perlahan dalam
jangka waktu yang panjang (kronis). Program penanggulangan PTM tertuang dalam
peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2015. Penanggulangan
PTM adalah upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif dan preventif tanpa
mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif serta paliatif yang ditujukan untuk
menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian yang dilaksanakan secara komprehensif,
efektif, efisien, dan berkelanjutan. Surveilans PTM adalah kegiatan pengamatan
yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian
faktor risiko dan PTM serta kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatannya
untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien.A. Tujuan
KebijakanKebijakan
penanggulangan PTM dalam Peraturan Menteri Kesehatan bertujuan untuk:a.
melindungi masyarakat dari risiko PTM;b.
meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi
dampak sosial, budaya, serta ekonomi akibat PTM pada individu, keluarga, dan
masyarakat; dan c.
memberikan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan Penanggulangan PTM yang komprehensif, efisien, efektif, dan
berkelanjutan B. Subyek (pelaku
dan pembuat kebijakan)Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2015 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat
(Germas) memuat kebijakan penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM) di
Indonesia. Pelaku dan pembuat kebijakan pada program ini melibatkan berbagai
pihak, termasuk:1.
Kementerian Kesehatan : Bertanggung jawab
atas penyusunan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan program penanggulangan
PTM.2.
Pemerintah Daerah : Melakukan koordinasi
dengan instansi terkait di daerah untuk implementasi program penanggulangan PTM
sesuai dengan kondisi lokal.3.
Tenaga Kesehatan: Melaksanakan kegiatan
preventif dan promotif serta memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait
dengan penanggulangan PTM. 4.
Masyarakat : Menjadi subjek utama dalam
implementasi program, dengan menerima dan mengikuti kegiatan yang
diselenggarakan serta mengubah perilaku menuju gaya hidup sehat.A.
Implementasi Kebijakan Satuan
kerja atau unit pengelola program Penanggulangan PTM pada Pemerintah Daerah
harus menyelenggarakan kegiatan penanggulangan yang mengutamakan Upaya
Kesehatan Masyarakat (UKM) dengan mendayagunakan puskesmas dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya. Penyelenggaraan Penanggulangan PTM diprioritaskan
pada jenis PTM yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, dengan kriteria
sebagai berikut :a.
tingginya angka kematian atau kecacatan;b.
tingginya angka kesakitan atau tingginya
beban biaya pengobatan; c.
memiliki faktor risiko yang dapat diubah. Penyelenggaraan
Penanggulangan PTM melalui Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dititikberatkan
pada pengendalian faktor risiko PTM yang dapat diubah. Pencegahan dilaksanakan
melalui kegiatan promosi kesehatan, deteksi dini faktor risiko, dan
perlindungan khusus. Pengendalian dilaksanakan melalui kegiatan penemuan dini
kasus dan tata laksana dini. Penyelenggaraan Penanggulangan PTM melalui Upaya
Kesehatan Perorangan (UKP) dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan tuntas,
pendekatan pemerataan, dan pendekatan lainnya. IV. KEBIJAKAN
PROGRAM INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER Integrasi
pelayanan kesehatan primer merupakan upaya untuk menata dan mengoordinasikan
berbagai pelayanan kesehatan primer dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan
pelayanan kesehatan berdasarkan siklus hidup bagi perseorangan, keluarga dan
masyarakat. Pelayanan Kesehatan Primer dilakukan dengan mendorong peningkatan
upaya promotif dan preventif, didukung inovasi dan pemanfaatan teknologi. Badan
Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pendekatan Primary Health Care (PHC)
melalui 3 (tiga) strategi utama yaitu integrasi pelayanan kesehatan primer
perorangan dan masyarakat, pemberdayaan individu dan masyarakat, serta
kebijakan dan aksi multi sektor.Strategi
global pelayanan kesehatan berfokus pada individu (peoplecentred, terintegrasi
guna mewujudkan pelayanan yang lebih komprehensif, responsif dan terjangkau
untuk mengatasi beragam kebutuhan kesehatan yang diperlukan masyarakat. Melalui
pendekatan ini diharapkan setiap orang memiliki pengetahuan dan dukungan yang
dibutuhkan untuk mampu membuat keputusan dan berpartisipasi dalam perawatan
kesehatannya. Penguatan pelayanan kesehatan primer penting dilakukan karena
fakta yang ada menunjukkan capaian standar pelayanan minimal bidang kesehatan
tahun 2021 masih jauh dari target yang ditetapkan dan beban Kesehatan yang
masih tinggi serta sebagian besar kasus kematian yang terjadi di Indonesia
merupakan kasus yang dapat dicegah. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan
kesehatan primer belum cukup kuat dalam merespon masalah kesehatan sehingga
dibuatlah pentunjuk teknis integrasi pelayanan kesehatan primer
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : HK.01.07/MENKES/2015/2023 tahun
2023.A. Tujuan
KebijakanIntegrasi
pelayanan kesehatan primer bertujuan untuk mendekatkan akses dan pelayanan
kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau
paliatif pada setiap fase kehidupan secara komprehensif dan berkualitas bagi
masyarakat. Integrasi pelayanan kesehatan primer menitikberatkan pada :1)
penguatan promotif dan preventif melalui
pendekatan pada setiap fase kehidupan dengan tetap menyelenggarakan kuratif,
rehabilitatif dan paliatif;2)
Pendekatan pelayanan kesehatan melalui
sistem jejaring pelayanan kesehatan primer mulai dari tingkat kecamatan,
desa/kelurahan, dusun, rukun warga, rukun tetangga. 3)
Penguatan Pemantauan Wilayah Setempat
(PWS) melalui digitalisasi dan pemantauan dengan dashboard situasi kesehatan
per desa/kelurahan, serta kunjungan keluarga/kunjungan rumah. B. Subyek (pelaku
dan pembuat kebijakan)Integrasi
pelayanan kesehatan primer dilaksanakan di Puskesmas, jejaring dan jaringan
pelayanan kesehatan primer. Integrasi Pelayanan kesehatan primer harus didukung
dengan sistem informasi yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan
Nasional. Kebijakan ini oleh tim pakar di Kementerian Kesehatan yang
melibatkan sektor terkait, yang bertanggung jawab atas pengembangan kebijakan
layanan kesehatan primer. Pemerintah melaksanakan transformasi pelayanan kesehatan
primer dengan menerapkan konsep Primary Health Care (PHC) melalui integrasi
pelayanan kesehatan primer. Sistem ini dapat dijalankan melalui Puskesmas dan
jejaringnya dengan memerlukan peran
serta aktif masyarakat serta pemerintah daerah setempat untuk dapat
diimplementasikan. C. Implementasi kebijakanTransformasi
pelayanan kesehatan primer dilaksanakan melalui edukasi penduduk, pencegahan
primer, pencegahan sekunder dan peningkatan kapasitas serta kapabilitas
pelayanan kesehatan primer. Implementasi pelaksanaan kebijakan ILP ini secara
berjenjang dilaksanakan mulai dari Puskesmas, Puskesmas pembantu dan posyandu.1)
Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer di
PuskesmasCara
kerja di Puskesmas dilakukan dengan mengoordinasikan pelayanan kesehatan primer
berdasarkan siklus hidup dan tidak lagi berbasis program. Kepala Puskesmas akan
menetapkan pembagian seluruh petugas Puskesmas ke dalam klaster-klaster dan
menetapkan struktur organisasi Puskesmas berdasarkan pembagian klister yang
setiap klaster masing-masing memiliki penanggung jawab dan anggota. Adapun kasternya yaitu:1.
Klaster 1 : Manajemen 2.
Klaster 2 : Ibu dan Anak 3.
Klaster 3 : Usia Dewasa dan Lanjut Usia 4.
Klaster 4 : Penanggulangan Penyakit
Menular 5.
Lintas Klaster 2)
Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer di
Puskesmas Pembantu (Pustu)Integrasi
pelayanan Kesehatan primer pada Pustu dilakukan dengan memberikan pelayanan
kesehatan untuk seluruh sasaran siklus hidup dan memperkuat peran pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan di desa/kelurahan. 3)
Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer di
PosyanduPosyandu
merupakan merupakan salah satu jenis Lembaga Kemasyarakatan Desa/Kelurahan
(LKD/K) yang merupakan wadah partisipasi masyarakat bertugas membantu kepala desa/lurah
di bidang pelayanan kesehatan dan bidang lainnya sesuai kebutuhan. Posyandu
berada di tingkat dusun/RT/RW yang dibentuk berdasarkan prakarsa pemerintah
desa/kelurahan dan masyarakat yang ditetapkan dalam peraturan desa atau
peraturan bupati/ walikota. Penataan
posyandu yang berbasis program antara lain posyandu KIA, posyandu remaja,
posbindu PTM, posyandu lansia menjadi posyandu yang melayani seluruh siklus
hidup. V. KEBIJAKAN
PROGRAM STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI
APOTEK Standar
pelayanan kefarmasian di apotek di Indonesia didasarkan pada Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016. Peraturan ini mengatur
berbagai aspek yang berkaitan dengan praktik kefarmasian di apotek guna
memastikan bahwa pelayanan farmasi yang diberikan kepada masyarakat berjalan
sesuai dengan standar yang ditetapkan. Standar pelayanan kefarmasian di apotek
adalah panduan yang mengatur prosedur dan praktek yang harus diikuti oleh para
profesional farmasi dalam memberikan layanan kepada pasien. Apotek adalah
sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.Apoteker
dalam memberikan layanan didasarkan pada prinsip-prinsip etika, keamanan, dan
kualitas. Mulai dari saat pasien memasuki apotek hingga mereka meninggalkannya
dengan obat-obatan yang dibutuhkan, setiap tahap dilakukan dengan teliti dan
kepedulian. Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan, Pelayanan
Kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada
pengelolaan Obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif
meliputi pelayanan Obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.Apoteker
harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan
(medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta
mengatasi masalah terkait Obat (drug related problems), masalah farmakoekonomi,
dan farmasi sosial (socio- pharmacoeconomy). Untuk menghindari hal tersebut,
Apoteker harus menjalankan praktik sesuai standar pelayanan. Apoteker juga
harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan
terapi untuk mendukung penggunaan Obat yang rasional. Dalam melakukan praktik
tersebut, Apoteker juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan Obat,
melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk
melaksanakan semua kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian.Sejalan
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di bidang kefarmasian telah
terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan Obat
sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam
pengertian tidak saja sebagai pengelola Obat namun dalam pengertian yang lebih
luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan Obat
yang benar dan rasional, monitoring penggunaan Obat untuk mengetahui tujuan
akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan.A. Tujuan
KebijakanPengaturan
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk :1)
Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian2)
Menjamin kepastian hukum bagi tenaga
kefarmasian 3)
Melindungi pasien dan masyarakat dari
penggunaan Obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient
safety). B. Subyek (pelaku
dan pembuat kebijakan)Pelaku
dan pembuat kebijakan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 adalah
sebagai berikut:1)
Pembuat Kebijakan adalah Menteri Kesehatan
Republik IndonesiaBertanggung jawab
atas pembuatan kebijakan terkait regulasi dan standar pelayanan kefarmasian di
apotek. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 merupakan salah satu
produk kebijakan yang dibuat oleh tim pakar dari Kementerian Kesehatan RI dalam
rangka mengatur praktik kefarmasian di apotek. 2)
Pelaku Pelayanan a.
ApotekerMerupakan
pelaku utama dalam memberikan pelayanan kefarmasian di apotek. Mereka
bertanggung jawab atas dispensing obat, verifikasi resep, konseling obat kepada
pasien, dan menjaga keamanan serta kualitas obat yang disediakan. b.
Staf FarmasiMemberikan
dukungan kepada apoteker dalam proses dispensing dan pelayanan obat. Mereka
juga berperan dalam menjaga kebersihan dan kelancaran operasional apotek.c.
Pasien Sebagai
penerima pelayanan kefarmasian, pasien memiliki hak untuk mendapatkan informasi
yang jelas dan akurat mengenai obat yang mereka konsumsi. Mereka juga memiliki
kewajiban untuk mengikuti petunjuk penggunaan obat yang diberikan oleh
apoteker.Adanya peran dan tanggung jawab yang jelas dari
pembuat kebijakan dan pelaku pelayanan, diharapkan pelayanan kefarmasian di
apotek dapat berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan, meningkatkan
aksesibilitas, kualitas, dan keselamatan dalam penggunaan obat oleh masyarakat
Indonesia. C. Implementasi kebijakanPelayanan
Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker, dapat dibantu oleh
Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki Surat
Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian
Apoteker harus memenuhi kriteria:1.
Persyaratan administrasia)
Memiliki ijazah dari institusi pendidikan
farmasi yang terakreditasi b)
Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker
(STRA) c)
Memiliki sertifikat kompetensi yang masih
berlaku d)
Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker
(SIPA) 2.
Menggunakan atribut praktik antara lain
baju praktik, tanda pengenal. 3.
Wajib mengikuti pendidikan
berkelanjutan/Continuing Professional Development (CPD) dan mampu memberikan
pelatihan yang berkesinambungan. 4.
Apoteker harus mampu mengidentifikasi
kebutuhan akan pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop,
pendidikan berkelanjutan atau mandiri. 5.
Harus memahami dan melaksanakan serta
patuh terhadap peraturan perundang undangan, sumpah Apoteker, standar profesi
(standar pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang
berlaku. DAFTAR
PUSTAKA Peraturan
Presiden. 2021. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang
Percepatan Penurunan Stunting. Jakarta.TNP2K
Bappenas R.I. 2018. Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil
(Stunting). JakartaBadan
Ketahanan Pangan. 2019. Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi. Jakarta.Peraturan
Menteri Kesehatan. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
71 Tahun 2015 Tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Kemenkes
R.I.Peraturan
Menteri Kesehatan. 2023. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang
pentunjuk teknis integrasi pelayanan kesehatan primer Jakarta : Ditjen Kesmas,
Kemenkes R.I.Peraturan
Menteri Kesehatan. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta. Oleh: Syamsul Alam (Prodi Kesehatan Masyarakat)
<!--[if gte vml 1]>
<!--[if gte vml 1]>