Analisis Kebijakan Dalam Program Pelayanan Kesehatan, Gizi, Obat Dan Makanan

  • 01:14 WITA
  • Administrator
  • Artikel

PENDAHULUAN
Pelayanan kesehatan, gizi, obat, dan makanan merupakan komponen vital dalam sistem kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dalam upaya mencapai tujuan ini, pemerintah merumuskan berbagai kebijakan yang mendukung program-program strategis guna menghadapi tantangan kesehatan yang kompleks dan beragam. Analisis kebijakan dalam program pelayanan kesehatan menjadi penting untuk memastikan efektivitas, efisiensi, dan keberlanjutan program-program tersebut.
Salah satu kebijakan penting adalah Program Percepatan Penurunan Stunting. Stunting merupakan masalah kesehatan yang signifikan di Indonesia, terutama di kalangan anak-anak, yang memiliki dampak jangka panjang terhadap perkembangan fisik dan kognitif anak. Kebijakan ini dirancang untuk mengatasi masalah stunting melalui intervensi gizi yang komprehensif, peningkatan akses terhadap layanan kesehatan, serta edukasi masyarakat mengenai pentingnya asupan gizi seimbang. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat memberikan fondasi yang kuat untuk masa depan anak-anak Indonesia.
Selain itu, Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi juga memegang peranan krusial dalam memastikan kesehatan masyarakat. Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan, aksesibilitas, dan pemanfaatan pangan yang bergizi melalui pengembangan sistem pangan yang berkelanjutan, peningkatan produksi pangan lokal, serta penguatan sistem distribusi pangan. Upaya ini sejalan dengan tujuan Program Percepatan Penurunan Stunting, karena ketersediaan pangan yang bergizi merupakan salah satu kunci utama dalam mencegah malnutrisi dan penyakit terkait gizi.
Dalam menghadapi ancaman kesehatan lainnya, Kebijakan Program Penanggulangan Penyakit Menular menjadi sangat relevan. Penyakit menular seperti tuberculosis, malaria, dan HIV/AIDS tetap menjadi ancaman signifikan di Indonesia. Program ini mencakup kampanye imunisasi, peningkatan kapasitas laboratorium, serta penguatan sistem surveilans epidemiologi untuk mengidentifikasi dan merespons wabah penyakit dengan cepat dan efektif. Keterkaitan antara kebijakan ini dengan kebijakan ketahanan pangan dan gizi juga terlihat, karena penanggulangan penyakit menular memerlukan masyarakat yang sehat dan bergizi baik.
Selanjutnya, Kebijakan Program Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer bertujuan untuk menyatukan berbagai layanan kesehatan dasar menjadi satu kesatuan yang terkoordinasi. Ini termasuk layanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Dengan mengintegrasikan layanan ini, diharapkan masyarakat dapat mengakses pelayanan kesehatan yang komprehensif dan berkualitas di tingkat primer. Program ini mendukung kebijakan lainnya dengan memastikan bahwa semua aspek pelayanan kesehatan terkoordinasi dengan baik dan mudah diakses oleh masyarakat. Akhirnya, Kebijakan Program Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menetapkan standar pelayanan yang harus dipatuhi oleh apotek dalam menyediakan obat. Ini mencakup aspek pengelolaan obat, pemberian informasi obat kepada pasien, serta pemantauan dan evaluasi penggunaan obat. Standar ini dirancang untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian dan memastikan bahwa masyarakat menerima terapi obat yang tepat dan aman. Kebijakan ini melengkapi program integrasi pelayanan kesehatan primer dengan memastikan bahwa aspek farmasi dalam pelayanan kesehatan juga memenuhi standar yang ditetapkan.
Secara keseluruhan, analisis kebijakan dalam program pelayanan kesehatan, gizi, obat, dan makanan merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang dirumuskan dapat memberikan dampak positif yang maksimal bagi kesehatan masyarakat. Melakukan kajian terhadap kebijakan dalam program pelayanan kesehatan, gizi, obat, dan makanan adalah langkah yang sangat penting untuk memastikan kebijakan-kebijakan tersebut efektif dalam mencapai tujuannya. Kajian ini memungkinkan pemerintah untuk mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan dari kebijakan yang telah diterapkan, sehingga dapat dilakukan penyesuaian dan perbaikan yang diperlukan. Dengan pemahaman yang mendalam tentang dampak dan implementasi kebijakan, pemerintah dapat mengarahkan sumber daya secara lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Selain itu, kajian kebijakan juga penting untuk memastikan bahwa intervensi yang dilakukan berdasarkan bukti ilmiah dan praktik terbaik, yang pada akhirnya akan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Melalui kajian yang berkelanjutan, kebijakan-kebijakan ini dapat terus ditingkatkan dan disesuaikan dengan dinamika sosial dan tantangan kesehatan yang terus berkembang, memastikan bahwa pelayanan kesehatan, gizi, obat, dan makanan selalu relevan dan efektif dalam menjawab kebutuhan masyarakat.
Kajian ini bertujuan mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan kebijakan yang telah diterapkan, serta memberikan rekomendasi perbaikan berbasis bukti untuk meningkatkan efektivitasnya. Selain itu, kajian ini memastikan implementasi kebijakan yang optimal dan mengarahkan sumber daya secara efisien. Melalui kajian ini, dapat diukur sejauh mana kebijakan telah mencapai tujuan seperti penurunan stunting, peningkatan ketahanan pangan, penanggulangan penyakit menular, integrasi pelayanan kesehatan primer, dan peningkatan standar pelayanan kefarmasian
I.    KEBIJAKAN PROGRAM PERCEPATAN PENURUNAN STUNTING
Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Percepatan Penurunan Stunting adalah setiap upaya yang mencakup Intervensi Spesifik dan Intervensi Sensitif yang dilaksanakan secara konvergen, holistik, integratif, dan berkualitas melalui kerja sarra multisektor di pusat, daerah, dan desa. Intervensi Spesifik adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab langsung terjadinya Stunting. Intervensi Sensitif adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab tidak langsung terjadinya Sfinting.
Strategi nasional percepatan penurunan stunting adalah langkah-langkah berupa 5 (lima) pilar yang berisikan kegiatan untuk Percepatan Penurunan Stunting dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan melalui pencapaian target nasional prevalensi Stunting yang diukur pada anak berusia di bawah 5 (lima) tahun. Stranas Stunting mengadopsi kerangka penyebab masalah gizi, yaitu “The Conceptual Framework of the Determinants of Child Undernutrition”13, “The Underlying Drivers of Malnutrition” dan “Faktor Penyebab Masalah Gizi Konteks Indonesia”.
Kebijakan penurunan stunting mengacu pada Peraturan Presiden no.72 Tahun 2021. Pencegahan stunting menitikberatkan pada penanganan penyebab masalah gizi, yaitu faktor yang berhubungan dengan ketahanan pangan khususnya akses terhadap pangan bergizi (makanan), lingkungan sosial yang terkait dengan praktik pemberian makanan bayi dan anak (pengasuhan), akses terhadap pelayanan kesehatan untuk pencegahan dan pengobatan (kesehatan), serta kesehatan lingkungan yang meliputi tersedianya sarana air bersih dan sanitasi (lingkungan). Keempat faktor tersebut secara tidak langsung mempengaruhi asupan gizi dan status kesehatan ibu dan anak. Intervensi terhadap keempat faktor tersebut diharapkan dapat mencegah malnutrisi, baik kekurangan maupun kelebihan gizi.
Penyebab tidak langsung masalahs tunting dipengaruhi oleh berbagai faktor, meliputi pendapatan dan kesenjangan ekonomi, perdagangan, urbanisasi, globalisasi, sistem pangan, jaminan sosial, sistem kesehatan, pembangunan pertanian, dan pemberdayaan perempuan. Untuk mengatasi penyebab stunting, diperlukan prasyarat pendukung yang mencakup: (a) Komitmen politik dan kebijakan untuk pelaksanaan; (b) Keterlibatan pemerintah dan lintas sektor; dan (c) Kapasitas untuk melaksanakan. Gambar 1-1 menunjukkan bahwa pencegahan stunting memerlukan pendekatan yang menyeluruh, yang harus dimulai dari pemenuhan prasyarat pendukung.
A.    Tujuan Kebijakan
Strategi Nasional Percepatan Penurunan Stunting bertujuan untuk:
1)      Menurunkan prevalensi Stunting
2)      Meningkatkan kualitas penyiapan kehidupan berkeluarga
3)      Menjamin pemenuhan asupan gizi
4)      Memperbaiki pola asuh
5)      Meningkatkan akses dan mutu pelayanan Kesehatan, dan
6)      Meningkatkan akses air minum dan sanitasi.
Pelaksanaan percepatan penurunan stunting dilaksanakan untuk mencapai target tujuan pembangunan berkelanjutan pada tahun 2030 dengan kelompok sasaran meliputi:  remaja, calon pengantin,  ibu hamil, ibu menyusui, anak berusia 0 (nol) - 59 (lima puluh sembilan) bulan. Pencapaian target tujuan pembangunan berkelanjutan dilaksanakan melalui pencapaian target nasional prevalensi Stunting yang diukur pada anak berusia di bawah 5 (lima) tahun. Prevalensi  Stunting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 21 pada peraturan presiden no.72 tahun 2021  ditetapkan target antara yang harus dicapai sebesar l4%o (empat belas persen) pada tahun 2024.
 
B.     Subyek (Pelaku dan Pembuat Kebijakan)
Pelaksanaan kebijakan percepatan penurunan stunting di Indonesia, terlibat beberapa subyek atau pihak yang berperan dalam proses perumusan, implementasi, dan pengawasan program ini. Tim percepatan penurunan stunting terdiri atas pengarah dan pelaksana. Pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) bertugas :
1)      memberikan arahan terkait penetapan kebijakan penyelenggaraan Percepatan Penurunan Stunting;
2)      memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi dalam penyelesaian kendala dan hambatan penyelenggaraan Percepatan Penurunan Shtnting; dan 
3)      melaporkan penyelenggaraan Percepatan Penurunan Stunting kepada Presiden 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) bertugas :
1)      menyiapkan perumusan rencana aksi nasional penyelenggaraan Percepatan Penuru nan Stunting;
2)      melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi program dan kegiatan Percepatan Penurunan Stunting kementerian dan lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Desa, dan Pemangku Kepentingan;
3)      menyiapkan perumusan penyelesaian kendala dan hambatan penyelenggaraan Percepatan Penurunan Shmting;
4)      mengoordinasikan Pemantauan dan Evaluasi penyelenggaraan Percepatan Penuru nan Stunting;
5)      mengoordinasikan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dan Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan Percepatan Penurunan Stunting; dan
6)      mengoordinasikan peningkatan kerja sama dan kemitraan dengan Pemangku Kepentingan dalam penyelenggaraan Percepatan Penuru nan Stunting.
Pelaksanaan penyelenggaraan percepatan penrunan stunting di Tingkat Provinsi,  gubernur menetapkan tim percepatan tingkat provinsi. Tim Percepatan bertugas mengoordinasikan, menyinergikan, dan mengevaluasi penyelenggaraan Percepatan penurunan stunting secara efektif, konvergen, dan terintegrasi dengan melibatkan lintas sektor di tingkat provinsi. Susunan keanggotaan tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat provinsi disesuaikan dengan kebutuhan Pemerintah Daerah provinsi.
Dalam rangka menyelenggarakan Percepatan Penurunan Stunting di tingkat kabupaten/kota, bupati/wali kota menetapkan tim Percepatan Penurunan Shtnting tingkat kabupaten/ kota. Tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat kabupaten/kota bertugas mengoordinasikan, menyinergikan, dan mengevaluasi penyelenggaraan Percepatan Penurunan Stunting di tingkat kabupaten/ kota dan kecamatan. (3) Tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (21 terdiri atas perangkat daerah dan Pemangku Kepentingan, termasuk Tim Penggerak Pemberdayaan Kesej ahteraan Keluarga (TP- PKK). Susunan keanggotaan tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat kabupaten / kota disesuaikan dengan kebutuhan Pemerintah Daerah kabupaten I kota.
Koordinasi Penyelenggaraan di Tingkat Desa/Kelurahan. Dalam rangka menyelenggarakan Percepatan Penurunan Stunting di tingkat desa/kelurahan, kepala desa/lurah menetapkan tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat desa/ kelurahan. Tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat desa/kelurahan bertugas mengoordinasikan, menyinergikan, dan mengevaluasi penyelenggaraan Percepatan Penurunan Sfimting di tingkat desa/kelurahan. Tim Percepatan Penurunan Stunting tingkat desa/ kelurahan melibatkan :
a.       tenaga kesehatan paling sedikit mencakup bidan, tenaga gizi, dan tenaga kesehatan lingkungan
b.      Penyuluh Keluarga Berencana dan/atau Petugas Lapangan Keluarga Berencana;
c.       Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK);
d.      Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD) dan/ atau Sub-PPKBD/ Kader Pembangunan Manusia (KPM), kader, dan/atau unsur masyarakat lainnya.
C.    Implementasi
Adapun implementasi pelaksanaan program percepatan penurunan stunting melaui upaya intervensi spesifik dan sensitif.  Intervensi gizi spesifik menyasar penyebab stunting yang meliputi: 1) Kecukupan asupan makanan dan gizi; 2) Pemberian makan, perawatan dan pola asuh; dan 3) Pengobatan infeksi/penyakit. Terdapat tiga kelompok intervensi gizi spesifik:
a.       Intervensi prioritas, yaitu intervensi yang diidentifikasi memiliki dampak paling besar pada pencegahan stunting dan ditujukan untuk menjangkau semua sasaran prioritas
b.      Intervensi pendukung, yaitu intervensi yang berdampak pada masalah gizi dan kesehatan lain yang terkait stunting dan diprioritaskan setelah intervensi prioritas dilakukan.
c.       Intervensi prioritas sesuai kondisi tertentu, yaitu intervensi yang diperlukan sesuai dengan kondisi tertentu, termasuk saat darurat bencana (program gizi darurat).
Intervensi gizi sensitif mencakup: (a) Peningkatan akses pangan bergizi; (b) Peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak; (c) Peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; dan (d) Peningkatan penyediaan air bersih dan sarana sanitasi. Intervensi gizi sensitif umumnya dilaksanakan di luar Kementerian Kesehatan. Sasaran intervensi gizi sensitif adalah keluarga dan masyarakat umum.
II. KEBIJAKAN STRATEGIS KETAHANAN PANGAN DAN GIZI
Seiring perubahan arah pembangunan ketahanan pangan dunia yang mengintegrasikan pendekatan ketahanan pangan dan ketahanan gizi, kebijakan strategis di bidang ketahanan pangan dan gizi nasional sudah selayaknya mengadopsi pendekatan ini karena beberapa 5 alasan. Pertama, masalah gizi di Indonesia sebagai outcome dari situasi ketahanan pangan dan ketahanan gizi masih sangat serius. Kondisi ini dicirikan oleh tingginya prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek pada anak dibawah dua tahun), kegemukan pada anak balita dan orang dewasa, defisiensi zat gizi mikro (kurang vitamin A, anemia gizi besi dan gangguan akibat kekurangan iodium) serta semakin meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular (PTM) karena buruknya pola konsumsi pangan masyarakat. Kedua, prevalensi masalah gizi dan PTM masih sangat tinggi.
Kondisi ini terkait dengan persoalan-persoalan yang mendasarinya, yaitu masih relatif rendahnya kualitas (komposisi dan keamanan) pangan yang tersedia, keterbatasan akses pangan baik secara fisik maupun ekonomi karena terbatasnya daya beli, buruknya lingkungan fisik dan lingkungan (akses air bersih, higiene dan sanitasi lingkungan), pola asuh yang buruk sebagai akibat rendahnya pendidikan dan pengetahuan, dan keterbatasan akses layanan kesehatan. Mempertimbangkan kondisi di atas, pembangunan ketahanan pangan dan gizi di Indonesa pada masa mendatang, khususnya pada periode 2020-2024 harus menggunakan pendekatan sistem agar keterkaitan pembangunan lintas sektor dapat terjadi dan sinergitas antar sektor dapat tercapai melalui suatu koordinasi lintas sektor. Koordinasi tersebut dapat dilakukan melalui kelembagaan Dewan Ketahanan Pangan. Gambar 1 di bawah ini menyajikan Kerangka Pikir pendekatan lintas sektor pembangunan ketahanan pangan dan gizi secara sistemik. Pendekatan ini diarahkan untuk mewujudkan ketersediaan pangan yang memadai melalui produksi pangan domestik dan perdagangan; tercapainya stabilitas ketersediaan dan akses pangan secara makro-meso dan mikro, tercukupinya kualitas (keragaman dan  keamanan pangan) dan kuantitas konsumsi pangan yang didukung oleh perbaikan infrastruktur untuk mencegah merebaknya penyakit infeksi melalui peningkatan akses air bersih dan perbaikan lingkungan. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, diperlukan dukungan kebijakan ekonomi makro yang mampu mewujudkan stabilitas ekonomi menjamin stabitas pasokan dan harga pangan. Dukungan berbagai kebijakan lainnya diperlukan guna memberikan stimulus produksi pangan; menjaga stabilitas politik; mengimplementasikan perdagangan internasional dan domestik yang adil; meningkatkan kualitas infrastruktur dan teknologi yang bukan hanya mampu meningkatkan produksi pangan tetapi juga menekan kehilangan pangan di tingkat petani, pedagang/distributor, dan rumah tangga. 
A.    Tujuan Kebijakan
Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi 2020-2024 memiliki beberapa tujuan yang penting untuk memastikan ketersediaan pangan yang cukup dan gizi yang memadai bagi seluruh penduduk. Tujuan penyusunan Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi (KSKPG) 2020-2024 ini ialah:
1)      Sebagai acuan (common platform) bagi para pemangku kepentingan di bidang pangan dan gizi, mulai dari instansi pemerintah di pusat dan daerah; sektor swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perguruan tinggi dan organisasi profesi; 7 kelembagaan dan organisasi petani, peternak, pembudidaya ikan, nelayan; jasa pelayanan masyarakat bidang pangan, gizi, dan kesehatan dalam peran dan upayanya untuk memberikan kontribusi yang optimal dalam pembangunan ketahanan pangan dan gizi;
2)      Sebagai acuan dasar bagi lembaga pemerintah dan pemerintah daerah untuk membangun koordinasi lintas sektor sehingga terjadi sinergi program dan kegiatan pembangunan ketahanan pangan dan gizi mendukung terwujudnya sumberdaya manusia yang berkualitas dan berdayasaing;
3)      Sebagai dasar bagi kementerian dan lembaga di tingkat pusat dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota untuk menyusun kebijakan, program, dan anggaran yang memadai dalam mewujudkan sasaran pembangunan ketahanan pangan dan gizi.
B.     Subyek (Pelaku dan Pembuat Kebijakan)
Dalam konteks subyek sebagai pelaku dan pembuat kebijakan strategis ketahanan pangan dan gizi 2020-2024, kita dapat mengidentifikasi beberapa aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan tersebut. Berikut adalah beberapa di antaranya:
1.      Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat memiliki peran sentral dalam merumuskan kebijakan strategis, mengalokasikan anggaran, serta mengkoordinasikan implementasi program-program ketahanan pangan dan gizi. Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, dan lembaga terkait lainnya bertanggung jawab atas aspek-aspek tertentu dari kebijakan ini.
2.      Pemerintah Daerah
Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab dalam mengimplementasikan kebijakan strategis ketahanan pangan dan gizi di tingkat lokal. Mereka dapat mengadaptasi kebijakan nasional sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal serta mengalokasikan sumber daya untuk mendukung program-program tersebut di tingkat daerah.
3.      Petani dan Produsen Pangan
Petani dan produsen pangan memainkan peran kunci dalam memproduksi pangan yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan populasi. Mereka perlu didukung dengan kebijakan dan program yang mendorong peningkatan produktivitas, akses terhadap input pertanian, dan penguatan kapasitas teknis.
4.      Masyarakat Sipil
Organisasi non-pemerintah, LSM, dan kelompok masyarakat lainnya memiliki peran penting dalam mendukung implementasi kebijakan ketahanan pangan dan gizi melalui advokasi, pemantauan, dan partisipasi dalam program-program komunitas.
5.      Sektor Swasta
Perusahaan-perusahaan di sektor swasta, termasuk perusahaan pertanian, industri pangan, dan ritel, juga memiliki peran dalam menyokong ketahanan pangan dan gizi melalui investasi, inovasi produk, dan keterlibatan dalam rantai pasok pangan.
6.      Institusi Akademis dan Riset
Institusi akademis dan penelitian memiliki peran dalam menyediakan pengetahuan dan teknologi terbaru dalam bidang pertanian, gizi, dan kebijakan pangan, serta mendukung pengembangan kapasitas melalui pendidikan dan pelatihan.
C.    Implementasi
Implementasi kebijakan strategis yang disusun mencakup aspek ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan dan pesmanfaatan pangan dengan memperhatikan keamanan pangan pada setiap aspek ketahanan pangan dan gizi.
1.      Ketersediaan Pangan
a.       Meningkatkan Produksi Pangan yang Beragam
b.      Memperkuat cadangan pangan untuk antisipasi ancaman ketersediaan pangan
c.       Menyediakan Pangan yang Aman
2.      Keterjangkauan Pangan
a.       Keterjangkauan Fisik
b.      Keterjangkauan Ekonomi
c.       Keterjangkauan Sosial
3.      Pemanfaatan Pangan
a.       Pemenuhan Kebutuhan Gizi
b.      Memperkuat Sistem Surveilan Pangan dan Gizi
c.       Jaminan Keamanan Pangan
4.      Penguatan Kelembagaan Pangan dan Gizi
 III.       KEBIJAKAN PROGRAM PENANGGULANGAN PENYAKIT TIDAK MENULAR
Penyakit tidak menular menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan kesakitan, kecacatan dan kematian yang tinggi, serta menimbulkan beban pembiayaan kesehatan sehingga perlu dilakukan penyelenggaraan penanggulangan melalui pencegahan, pengendalian dan penanganan yang komprehensif, efisien, efektif, dan berkelanjutan.  Penyakit Tidak Menular yang selanjutnya disingkat PTM adalah penyakit yang tidak bisa ditularkan dari orang ke orang, yang perkembangannya berjalan perlahan dalam jangka waktu yang panjang (kronis). Program penanggulangan PTM tertuang dalam peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2015.
Penanggulangan PTM adalah upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif dan preventif tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif serta paliatif yang ditujukan untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian yang dilaksanakan secara komprehensif, efektif, efisien, dan berkelanjutan. Surveilans PTM adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian faktor risiko dan PTM serta kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatannya untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien.
A. Tujuan Kebijakan
Kebijakan penanggulangan PTM dalam Peraturan Menteri Kesehatan bertujuan untuk:
a.       melindungi masyarakat dari risiko PTM;
b.      meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi dampak sosial, budaya, serta ekonomi akibat PTM pada individu, keluarga, dan masyarakat; dan
c.       memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan Penanggulangan PTM yang komprehensif, efisien, efektif, dan berkelanjutan
B.  Subyek  (pelaku dan pembuat kebijakan)
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2015 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) memuat kebijakan penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM) di Indonesia. Pelaku dan pembuat kebijakan pada program ini melibatkan berbagai pihak, termasuk:
1.      Kementerian Kesehatan : Bertanggung jawab atas penyusunan kebijakan dan koordinasi pelaksanaan program penanggulangan PTM.
2.      Pemerintah Daerah : Melakukan koordinasi dengan instansi terkait di daerah untuk implementasi program penanggulangan PTM sesuai dengan kondisi lokal.
3.      Tenaga Kesehatan: Melaksanakan kegiatan preventif dan promotif serta memberikan pelayanan kepada masyarakat terkait dengan penanggulangan PTM.
4.      Masyarakat : Menjadi subjek utama dalam implementasi program, dengan menerima dan mengikuti kegiatan yang diselenggarakan serta mengubah perilaku menuju gaya hidup sehat.
A.    Implementasi Kebijakan
Satuan kerja atau unit pengelola program Penanggulangan PTM pada Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan kegiatan penanggulangan yang mengutamakan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dengan mendayagunakan puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Penyelenggaraan Penanggulangan PTM diprioritaskan pada jenis PTM yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, dengan kriteria sebagai berikut :
a.       tingginya angka kematian atau kecacatan;
b.      tingginya angka kesakitan atau tingginya beban biaya pengobatan;
c.       memiliki faktor risiko yang dapat diubah.
Penyelenggaraan Penanggulangan PTM melalui Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dititikberatkan pada pengendalian faktor risiko PTM yang dapat diubah. Pencegahan dilaksanakan melalui kegiatan promosi kesehatan, deteksi dini faktor risiko, dan perlindungan khusus. Pengendalian dilaksanakan melalui kegiatan penemuan dini kasus dan tata laksana dini. Penyelenggaraan Penanggulangan PTM melalui Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dilaksanakan dengan menerapkan pendekatan tuntas, pendekatan pemerataan, dan pendekatan lainnya.
 IV.    KEBIJAKAN PROGRAM INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Integrasi pelayanan kesehatan primer merupakan upaya untuk menata dan mengoordinasikan berbagai pelayanan kesehatan primer dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan berdasarkan siklus hidup bagi perseorangan, keluarga dan masyarakat. Pelayanan Kesehatan Primer dilakukan dengan mendorong peningkatan upaya promotif dan preventif, didukung inovasi dan pemanfaatan teknologi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan pendekatan Primary Health Care (PHC) melalui 3 (tiga) strategi utama yaitu integrasi pelayanan kesehatan primer perorangan dan masyarakat, pemberdayaan individu dan masyarakat, serta kebijakan dan aksi multi sektor.
Strategi global pelayanan kesehatan berfokus pada individu (peoplecentred, terintegrasi guna mewujudkan pelayanan yang lebih komprehensif, responsif dan terjangkau untuk mengatasi beragam kebutuhan kesehatan yang diperlukan masyarakat. Melalui pendekatan ini diharapkan setiap orang memiliki pengetahuan dan dukungan yang dibutuhkan untuk mampu membuat keputusan dan berpartisipasi dalam perawatan kesehatannya. Penguatan pelayanan kesehatan primer penting dilakukan karena fakta yang ada menunjukkan capaian standar pelayanan minimal bidang kesehatan tahun 2021 masih jauh dari target yang ditetapkan dan beban Kesehatan yang masih tinggi serta sebagian besar kasus kematian yang terjadi di Indonesia merupakan kasus yang dapat dicegah. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan primer belum cukup kuat dalam merespon masalah kesehatan sehingga dibuatlah pentunjuk teknis integrasi pelayanan kesehatan primer berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : HK.01.07/MENKES/2015/2023 tahun 2023.
A. Tujuan Kebijakan
Integrasi pelayanan kesehatan primer bertujuan untuk mendekatkan akses dan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif pada setiap fase kehidupan secara komprehensif dan berkualitas bagi masyarakat. Integrasi pelayanan kesehatan primer menitikberatkan pada :
1)      penguatan promotif dan preventif melalui pendekatan pada setiap fase kehidupan dengan tetap menyelenggarakan kuratif, rehabilitatif dan paliatif;
2)      Pendekatan pelayanan kesehatan melalui sistem jejaring pelayanan kesehatan primer mulai dari tingkat kecamatan, desa/kelurahan, dusun, rukun warga, rukun tetangga.
3)      Penguatan Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) melalui digitalisasi dan pemantauan dengan dashboard situasi kesehatan per desa/kelurahan, serta kunjungan keluarga/kunjungan rumah.
B.  Subyek  (pelaku dan pembuat kebijakan)
Integrasi pelayanan kesehatan primer dilaksanakan di Puskesmas, jejaring dan jaringan pelayanan kesehatan primer. Integrasi Pelayanan kesehatan primer harus didukung dengan sistem informasi yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.  Kebijakan ini oleh tim  pakar di Kementerian Kesehatan yang melibatkan sektor terkait, yang bertanggung jawab atas pengembangan kebijakan layanan kesehatan primer. Pemerintah  melaksanakan transformasi pelayanan kesehatan primer dengan menerapkan konsep Primary Health Care (PHC) melalui integrasi pelayanan kesehatan primer. Sistem ini dapat dijalankan melalui Puskesmas dan jejaringnya dengan  memerlukan peran serta aktif masyarakat serta pemerintah daerah setempat untuk dapat diimplementasikan.
C.  Implementasi kebijakan
Transformasi pelayanan kesehatan primer dilaksanakan melalui edukasi penduduk, pencegahan primer, pencegahan sekunder dan peningkatan kapasitas serta kapabilitas pelayanan kesehatan primer. Implementasi pelaksanaan kebijakan ILP ini secara berjenjang dilaksanakan mulai dari Puskesmas, Puskesmas pembantu dan posyandu.
1)      Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer di Puskesmas
Cara kerja di Puskesmas dilakukan dengan mengoordinasikan pelayanan kesehatan primer berdasarkan siklus hidup dan tidak lagi berbasis program. Kepala Puskesmas akan menetapkan pembagian seluruh petugas Puskesmas ke dalam klaster-klaster dan menetapkan struktur organisasi Puskesmas berdasarkan pembagian klister yang setiap klaster masing-masing memiliki penanggung jawab  dan anggota. Adapun kasternya yaitu:
1.      Klaster 1 : Manajemen
2.      Klaster 2 : Ibu dan Anak
3.      Klaster 3 : Usia Dewasa dan Lanjut Usia
4.      Klaster 4 : Penanggulangan Penyakit Menular
5.      Lintas Klaster
2)      Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer di Puskesmas Pembantu (Pustu)
Integrasi pelayanan Kesehatan primer pada Pustu dilakukan dengan memberikan pelayanan kesehatan untuk seluruh sasaran siklus hidup dan memperkuat peran pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan di desa/kelurahan.
3)      Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer di Posyandu
Posyandu merupakan merupakan salah satu jenis Lembaga Kemasyarakatan Desa/Kelurahan (LKD/K) yang merupakan wadah partisipasi masyarakat bertugas membantu kepala desa/lurah di bidang pelayanan kesehatan dan bidang lainnya sesuai kebutuhan. Posyandu berada di tingkat dusun/RT/RW yang dibentuk berdasarkan prakarsa pemerintah desa/kelurahan dan masyarakat yang ditetapkan dalam peraturan desa atau peraturan bupati/ walikota.  Penataan posyandu yang berbasis program antara lain posyandu KIA, posyandu remaja, posbindu PTM, posyandu lansia menjadi posyandu yang melayani seluruh siklus hidup.
 V.    KEBIJAKAN PROGRAM STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN  DI APOTEK
Standar pelayanan kefarmasian di apotek di Indonesia didasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016. Peraturan ini mengatur berbagai aspek yang berkaitan dengan praktik kefarmasian di apotek guna memastikan bahwa pelayanan farmasi yang diberikan kepada masyarakat berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah panduan yang mengatur prosedur dan praktek yang harus diikuti oleh para profesional farmasi dalam memberikan layanan kepada pasien. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
Apoteker dalam memberikan layanan didasarkan pada prinsip-prinsip etika, keamanan, dan kualitas. Mulai dari saat pasien memasuki apotek hingga mereka meninggalkannya dengan obat-obatan yang dibutuhkan, setiap tahap dilakukan dengan teliti dan kepedulian. Berdasarkan kewenangan pada peraturan perundang-undangan, Pelayanan Kefarmasian telah mengalami perubahan yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan Obat (drug oriented) berkembang menjadi pelayanan komprehensif meliputi pelayanan Obat dan pelayanan farmasi klinik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait Obat (drug related problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial (socio- pharmacoeconomy). Untuk menghindari hal tersebut, Apoteker harus menjalankan praktik sesuai standar pelayanan. Apoteker juga harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan Obat yang rasional. Dalam melakukan praktik tersebut, Apoteker juga dituntut untuk melakukan monitoring penggunaan Obat, melakukan evaluasi serta mendokumentasikan segala aktivitas kegiatannya. Untuk melaksanakan semua kegiatan itu, diperlukan Standar Pelayanan Kefarmasian.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan Obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola Obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk mendukung penggunaan Obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan Obat untuk mengetahui tujuan akhir, serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan.
A. Tujuan Kebijakan
Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek bertujuan untuk :
1)      Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian
2)      Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
3)      Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).
B.  Subyek  (pelaku dan pembuat kebijakan)
Pelaku dan pembuat kebijakan standar pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 adalah sebagai berikut:
1)      Pembuat Kebijakan adalah Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Bertanggung jawab atas pembuatan kebijakan terkait regulasi dan standar pelayanan kefarmasian di apotek. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 merupakan salah satu produk kebijakan yang dibuat oleh tim pakar dari Kementerian Kesehatan RI dalam rangka mengatur praktik kefarmasian di apotek.
 2)      Pelaku Pelayanan
a.       Apoteker
Merupakan pelaku utama dalam memberikan pelayanan kefarmasian di apotek. Mereka bertanggung jawab atas dispensing obat, verifikasi resep, konseling obat kepada pasien, dan menjaga keamanan serta kualitas obat yang disediakan.
b.      Staf Farmasi
Memberikan dukungan kepada apoteker dalam proses dispensing dan pelayanan obat. Mereka juga berperan dalam menjaga kebersihan dan kelancaran operasional apotek.
c.       Pasien
Sebagai penerima pelayanan kefarmasian, pasien memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang jelas dan akurat mengenai obat yang mereka konsumsi. Mereka juga memiliki kewajiban untuk mengikuti petunjuk penggunaan obat yang diberikan oleh apoteker.
Adanya  peran dan tanggung jawab yang jelas dari pembuat kebijakan dan pelaku pelayanan, diharapkan pelayanan kefarmasian di apotek dapat berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan, meningkatkan aksesibilitas, kualitas, dan keselamatan dalam penggunaan obat oleh masyarakat Indonesia.
 C.  Implementasi kebijakan
Pelayanan Kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker, dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian Apoteker harus memenuhi kriteria:
1.      Persyaratan administrasi
a)      Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi
b)      Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
c)      Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku
d)      Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
2.      Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal.
3.      Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang berkesinambungan.
4.      Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau mandiri.
5.      Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan perundang undangan, sumpah Apoteker, standar profesi (standar pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang berlaku.
 
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Presiden. 2021. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Jakarta.
TNP2K Bappenas R.I. 2018. Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting). Jakarta
Badan Ketahanan Pangan. 2019. Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan dan Gizi. Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan. 2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2015 Tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Kemenkes R.I.
Peraturan Menteri Kesehatan. 2023. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang pentunjuk teknis integrasi pelayanan kesehatan primer Jakarta : Ditjen Kesmas, Kemenkes R.I.
Peraturan Menteri Kesehatan. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta.
 
 
Oleh: Syamsul Alam (Prodi Kesehatan Masyarakat)

<!--[if gte vml 1]>

<!--[if gte vml 1]>