Abstract
Mass communication in the digital era has undergone a significant
transformation, functioning not only as a conveyor of information, but also as an
agent of social change that influences people's mindset and behavior. This
research aims to analyze the impact of digital mass communication, especially
through social media, on individual mental health, with a focus on cases of cyber
bullying. This research uses a qualitative approach with a descriptive case study-
based method and explores how the spread of negative content can trigger severe
psychological distress, as experienced by Amanda Todd, a teenage victim of
online sexual exploitation.The results of the analysis show that destructive
messages spread through social media can cause social isolation, depression, and
anxiety, and increase the risk of suicidal ideation, especially among adolescent
girls. On the other hand, social media also provides a platform for individuals to
deliver advocacy messages, as Amanda did through her “My Story” video, which
successfully attracted public attention and triggered advocacy initiatives. This
research emphasizes the importance of media literacy in building psychosocial
resilience and digital protection for adolescents. Emerging challenges, such as
the spread of hoaxes and unverified information, require adaptive and
collaborative policies between the government, media platforms and
communities.
Keywords: Mass communication, health literacy, bullying
Abstrak
Komunikasi massa di era digital telah mengalami transformasi signifikan,
berfungsi tidak hanya sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai agen
perubahan sosial yang memengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak komunikasi massa digital,
terutama melalui media sosial, terhadap kesehatan mental individu, dengan
fokus pada kasus perundungan siber. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan metode deskriptif berbasis studi kasus dan menggali
bagaimana penyebaran konten negatif dapat memicu tekanan psikologis yang
berat, seperti yang dialami oleh Amanda Todd, seorang remaja yang menjadi
korban eksploitasi seksual daring. Hasil analisis menunjukkan bahwa pesan-
pesan destruktif yang tersebar melalui media sosial dapat menyebabkan
isolasi sosial, depresi, dan kecemasan, serta meningkatkan risiko ideasi bunuh
diri, terutama di kalangan remaja perempuan. Di sisi lain, media sosial juga
memberikan platform bagi individu untuk menyampaikan pesan advokasi,
seperti yang dilakukan Amanda melalui video “My Story”, yang berhasil
menarik perhatian publik dan memicu inisiatif advokasi. Penelitian ini
menekankan pentingnya literasi media dalam membangun ketahanan
psikososial dan perlindungan digital bagi remaja. Tantangan yang muncul,
seperti penyebaran hoaks dan informasi yang belum terverifikasi,
memerlukan kebijakan yang adaptif dan kolaboratif antara pemerintah,
platform media, dan masyarakat.
Kata kunci: Komunikasi massa, literasi kesehatan, perundungan
PENDAHULUAN
Komunikasi massa merupakan proses penyampaian pesan yang
ditujukan kepada khalayak luas melalui media, baik cetak, elektronik, maupun
digital. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa
transformasi signifikan dalam praktik komunikasi massa, terutama dengan
munculnya era digital dan konsep society 5.0. Dalam konteks ini, komunikasi
massa tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai
agen perubahan sosial yang memengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat.
Transformasi komunikasi massa di era digital menghadirkan peluang dan
tantangan baru. Di satu sisi, media digital memungkinkan partisipasi aktifmasyarakat dalam produksi dan distribusi informasi. Di sisi lain, munculnya
isu-isu seperti polarisasi informasi, penyebaran hoaks, dan ketergantungan
pada algoritma menjadi tantangan yang harus dihadapi. Selain itu, media
sosial telah menjadi sarana komunikasi massa yang efektif dalam
meningkatkan partisipasi politik masyarakat, meskipun juga membawa
dampak negatif seperti penyebaran ujaran kebencian dan polarisasi politik
Dalam era society 5.0, komunikasi massa memainkan peran penting
dalam membentuk pola pikir dan perilaku masyarakat. Kemudahan akses
informasi melalui media massa memengaruhi cara masyarakat berpikir dan
bertindak, sehingga penting bagi individu untuk memiliki literasi media yang
baik agar dapat menyaring informasi yang diterima (Mustofa et al., 2022).
Peran komunikasi massa juga terlihat jelas selama pandemi covid-19, di mana
media massa berkontribusi dalam menyebarkan informasi terkait pencegahan
dan penanggulangan virus. Namun, pemberitaan yang berlebihan atau tidak
akurat dapat menimbulkan kecemasan di kalangan masyarakat. Oleh karena
itu, penting bagi media massa untuk menyajikan informasi yang akurat dan
seimbang guna membangun kepercayaan publik (Wahidar et al., 2022).
Perkembangan media massa dan media sosial dalam lima tahun
terakhir telah menjadi fenomena yang tidak terpisahkan dari kehidupan
sehari-hari masyarakat modern. Media massa, seperti televisi, radio, dan surat
kabar, masih memegang peran penting sebagai sumber informasi, pendidikan,
hiburan, serta sebagai pengawas sosial dan agen perubahan budaya. Namun,
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah mendorong transformasi
besar pada media massa, sehingga kini mereka harus beradaptasi dengan
kehadiran media sosial yang semakin dominan dalam kehidupan masyarakat.
Media sosial, seperti Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, dan TikTok, telah
menjadi bagian integral dari aktivitas harian masyarakat di seluruh dunia.
Platform-platform ini tidak hanya memudahkan komunikasi dan interaksi
sosial, tetapi juga mempercepat penyebaran informasi, memperluas peluang
bisnis, serta membuka ruang bagi ekspresi diri dan pembentukankomunitas. Media sosial bahkan mampu menghapus batas ruang dan waktu,
sehingga memungkinkan siapa pun untuk terhubung dan berpartisipasi dalam
berbagai aktivitas sosial, ekonomi, maupun politik secara instan (Azman,
2018).
Namun, perkembangan pesat media sosial juga membawa tantangan
baru, seperti penyebaran berita hoaks dan informasi yang belum terverifikasi,
perubahan pola konsumsi informasi, serta pergeseran nilai dan norma sosial
di masyarakat. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hubungan antara
media massa dan media sosial sangat erat, terutama dalam hal penyebaran
informasi dan berita hoaks, sehingga diperlukan kebijakan dan literasi digital
yang memadai untuk meminimalisir dampak negatifnya (Andreas et al., 2021).
Komunikasi massa, terutama melalui media massa dan media sosial,
telah menjadi bagian integral dari kehidupan modern dan membawa dampak
signifikan terhadap psikologis penggunanya. Pesan-pesan yang disampaikan
melalui media massa dapat membentuk pola pikir, nilai, dan keyakinan
individu, yang pada akhirnya memengaruhi kondisi psikologis mereka. Konten
berita, iklan, hingga hiburan yang ditayangkan media massa mampu memicu
respons emosional yang beragam, mulai dari ketakutan, kecemasan, hingga
kegembiraan. Paparan terhadap berita tragis atau kekerasan, misalnya, dapat
meningkatkan rasa cemas dan takut, sedangkan konten hiburan yang positif
bisa memberikan efek kegembiraan dan kepuasan emosional (Sosial et al.,
2021).
Media dapat menjadi sarana edukasi, meningkatkan kesadaran, dan
mengurangi stigmatisasi terhadap isu-isu kesehatan mental. Konten yang
inspiratif, edukatif, dan motivasional dapat membantu individu
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, serta memberikan dukungan
psikologis yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pemahaman mendalam tentang
bagaimana komunikasi massa memengaruhi psikologis pengguna sangat
penting untuk mengidentifikasi risiko dan manfaatnya, serta merumuskanstrategi literasi media yang efektif di tengah pesatnya perkembangan teknologi
komunikasi saat ini (Azman, 2018).
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
deskriptif berbasis studi kasus. Pendekatan ini dipilih untuk menggambarkan
secara mendalam bagaimana komunikasi massa digital, khususnya melalui
media sosial, dapat memengaruhi kondisi psikologis individu yang menjadi
korban perundungan siber. Kasus yang dianalisis merupakan salah satu contoh
nyata dari dampak negatif penyebaran konten digital yang tidak etis terhadap
remaja. Data diperoleh melalui studi pustaka yang mencakup jurnal ilmiah,
laporan media, dokumentasi video daring, serta publikasi dari lembaga terkait.
Analisis dilakukan secara tematik dengan menelusuri alur komunikasi massa
yang terjadi, mulai dari pengiriman pesan awal, saluran yang digunakan,
hingga umpan balik dan dampak psikologis yang timbul. Validitas data
diperkuat dengan triangulasi sumber dan pendekatan kritis terhadap berbagai
perspektif. Penelitian ini bersifat non-intervensi dan menggunakan data
sekunder, sehingga tidak memerlukan persetujuan etik langsung, namun tetap
mengedepankan prinsip etika ilmiah dalam pengolahan dan pelaporan data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis studi kasus Amanda Todd mengungkap dampak signifikan
komunikasi massa digital terhadap kesehatan mental remaja. Amanda, korban
eksploitasi seksual daring dan perundungan siber, mengalami tekanan
psikologis berat akibat penyebaran konten eksplisit oleh pelaku melalui media
sosial. Pesan-pesan destruktif tersebut tersebar luas dan menimbulkan isolasi
sosial, depresi, kecemasan, hingga percobaan bunuh diri.
Situasi ini memperlihatkan media sosial sebagai saluran komunikasi
yang ambivalen. Di satu sisi, media digunakan untuk menyebar konten
merugikan; di sisi lain, Amanda memanfaatkannya untuk menyampaikanpesan advokasi melalui video “My Story”. Unggahan tersebut memicu
perhatian publik global, membentuk kesadaran kolektif, dan mendorong
inisiatif advokasi seperti pendirian Amanda Todd Legacy Society serta gugatan
terhadap platform digital.
Kasus ini mencerminkan teori efek media yang menyatakan bahwa
paparan terhadap konten negatif dapat memengaruhi perilaku dan emosi
individu, terutama pada remaja. Hal ini diperkuat oleh penelitian Nikolaou
(2017), yang menemukan bahwa korban cyberbullying memiliki peningkatan
risiko ideasi bunuh diri sebesar 14,5% dan percobaan bunuh diri sebesar
8,7%, dengan remaja perempuan sebagai kelompok paling rentan.
Selain aspek psikologis, kasus Amanda juga menyoroti lemahnya sistem
perlindungan digital. Proses hukum terhadap pelaku yang berada di negara
lain menunjukkan tantangan dalam penegakan hukum internasional dan
ketimpangan regulasi global. Hal ini menegaskan perlunya kerangka hukum
transnasional yang adaptif dan kolaboratif dalam menangani kejahatan digital.
Selanjutnya, peran keluarga, sekolah, dan institusi sosial menjadi sangat
krusial dalam membangun literasi digital dan ketahanan psikososial remaja.
Tanpa dukungan yang memadai, remaja rentan terhadap efek destruktif
komunikasi daring. Platform digital juga dituntut untuk meningkatkan
moderasi konten, memperkuat sistem pelaporan, dan menjamin keselamatan
pengguna muda.
Secara keseluruhan, kasus Amanda Todd menegaskan bahwa
komunikasi massa digital bukan sekadar sarana informasi, tetapi juga
kekuatan sosial yang dapat berdampak fatal jika tidak diatur. Pencegahan
kejahatan daring memerlukan sinergi antara regulasi, edukasi, teknologi, dan
dukungan psikologis guna menciptakan ruang digital yang aman dan sehat
bagi generasi muda.KESIMPULAN
Komunikasi massa di era digital telah menjadi kekuatan dominan yang
membentuk dinamika sosial, budaya, dan psikologis masyarakat modern.
Melalui media massa konvensional maupun media sosial, pesan-pesan yang
tersebar dapat membentuk opini publik, membangun identitas kolektif, serta
memengaruhi perilaku individu secara luas dan mendalam. Peran komunikasi
massa kini tidak hanya terbatas sebagai penyampai informasi, tetapi juga
sebagai agen sosial yang mampu memperkuat atau mengguncang nilai dan
norma masyarakat. Di satu sisi, media sosial memberikan ruang bagi ekspresi
diri, pembentukan komunitas, dan peningkatan partisipasi politik. Namun, di
sisi lain, media juga menjadi saluran bagi penyebaran informasi yang merusak,
seperti perundungan siber, ujaran kebencian, dan eksploitasi digital, yang
dapat menimbulkan tekanan psikologis, terutama pada kelompok rentan
seperti remaja. Kasus-kasus yang melibatkan dampak negatif komunikasi
digital menunjukkan bahwa media massa memiliki pengaruh nyata terhadap
kondisi mental dan sosial individu. Oleh karena itu, pemahaman yang
mendalam tentang fungsi dan konsekuensi komunikasi massa sangat penting
dalam upaya membangun ruang digital yang sehat, seimbang, dan
bertanggung jawab.
SARAN
Untuk mengurangi dampak negatif komunikasi massa, literasi media
perlu diintegrasikan dalam pendidikan formal. Pemerintah harus menetapkan
regulasi digital yang adaptif, sementara platform media wajib meningkatkan
moderasi konten. Program pemberdayaan masyarakat, edukasi digital, dan
pelibatan keluarga juga penting untuk membentuk pola konsumsi media yang
sehat. Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci terciptanya ruang komunikasi
yang aman dan beretika.DAFTAR PUSTAKA
Andreas, C., Priandi, S., Simamora, A. N. M. B., & Mardianto, M. F. F. (2021).
Analisis Hubungan Media Sosial dan Media Massa dalam Penyebaran
Berita Hoaks berdasarkan Structural Equation Modeling-Partial Least
Square. MUST: Journal of Mathematics Education, Science and Technology,
6(1), 81. https://doi.org/10.30651/must.v6i1.8816
Azman. (2018). Penggunaan Media Massa dan Media Sosial di Kalangan
Mahasiswa Komunikasi. Jurnal Peurawi, 1(1).
Mustofa, M. B., Sujepri, A., Mutoharoh, U., & Anggraini, V. (2022). Efek
Perkembangan Komunikasi Massa Terhadap Pola Pikir dan Perilaku
Masyarakat di Era Society 5.0. In Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam
(Vol. 7).
Nikolaou, D. (2017). Does cyberbullying impact youth suicidal behaviors?
Journal of Health Economics, 56, 30–46.
https://doi.org/10.1016/j.jhealeco.2017.09.009
Sosial, J. I., Humaniora, D., & Indainanto, Y. I. (2021). Masa Depan Media Massa
di Era Digital. Jurnal Ilmiah Muqoddimah: Jurnal Ilmu Sosial, Politik Dan
Humaniora, 5(1). http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/muqoddimah
Wahidar, T. I., Zurani, I., Fuadi, A., & Ulfadilah, U. (2022). Pengaruh Pemberitaan
Covid-19 di Media Massa terhadap Tingkat Kecemasan Penyintas Covid
19 di Kabupaten Meranti. Jurnal Simbolika Research and Learning in
Communication Study, 8(1), 35–41.
https://doi.org/10.31289/simbolika.v8i1.5840

