POLA PANGAN HARAPAN
Pendahuluan
Indonesia
adalah negara dengan jumlah penduduk besar dan wilayah yang luas, membentang
dari Sabang hingga Merauke. Keanekaragaman bahan pangan lokal sangat melimpah,
tetapi pola konsumsi pangan masih didominasi oleh beras sebagai makanan pokok.
Konsumsi umbi-umbian, protein, sayuran, dan buah-buahan masih belum optimal
meskipun mengalami peningkatan (Kementan, 2014; Putri et al., 2017).
Pangan
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,
baik yang telah diolah maupun yang belum, yang diperuntukkan sebagai makanan
atau minuman bagi manusia, termasuk bahan tambahan pangan dan bahan baku pangan
(Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan; S, 2012). Pangan merupakan
kebutuhan mendasar bagi manusia dan berperan penting dalam ketahanan pangan
nasional, yang mencakup ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas yang
cukup, distribusi yang merata, harga yang terjangkau, serta keamanan konsumsi
sepanjang waktu.
Pola
Pangan Harapan (PPH) adalah susunan pangan berdasarkan sembilan kelompok pangan
yang didasarkan pada kontribusi energi untuk memenuhi kebutuhan gizi secara
kuantitas, kualitas, dan keberagaman. PPH juga mempertimbangkan aspek sosial,
ekonomi, budaya, agama, dan cita rasa (Amaliyah, 2011; Syakbania &
Wahyuningsih, 2018).
Data
dari Badan Ketahanan Pangan Nasional (2016) menunjukkan bahwa konsumsi pangan
di beberapa daerah sentra produksi pangan masih rendah. Sebagai contoh,
Provinsi Jawa Tengah memiliki persentase rumah tangga petani subsektor tanaman
pangan sebesar 17,17%. Skor PPH di provinsi ini mengalami fluktuasi dari 88,66
pada tahun 2011 hingga 91,78 pada tahun 2014, sebelum turun menjadi 91,45 pada
tahun 2015. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat ketersediaan pangan
yang memadai, konsumsi pangan masyarakat masih belum beragam dan seimbang
(Syakbania & Wahyuningsih, 2018).
Pentingnya
keberagaman pangan dalam konsumsi sehari-hari menjadi dasar dari penerapan PPH
sebagai strategi nasional dalam perbaikan gizi masyarakat. Pola makan yang
seimbang tidak hanya meningkatkan kesehatan individu tetapi juga berdampak pada
produktivitas dan kesejahteraan nasional secara keseluruhan. PPH menjadi salah
satu indikator dalam mengukur ketahanan pangan di tingkat nasional dan daerah.
Dengan mengacu pada skor PPH, pemerintah dapat mengidentifikasi wilayah yang
memiliki pola konsumsi kurang beragam dan menentukan intervensi yang diperlukan
untuk meningkatkan kualitas pangan masyarakat.
Keberagaman
pangan juga berkaitan erat dengan ketahanan pangan rumah tangga. Rumah tangga
yang memiliki akses terhadap berbagai jenis pangan cenderung memiliki asupan
gizi yang lebih baik. Oleh karena itu, peningkatan konsumsi pangan yang beragam
perlu mendapat perhatian, terutama bagi kelompok rentan seperti balita, ibu
hamil, dan lanjut usia. Dalam konteks ekonomi, ketergantungan masyarakat
terhadap satu jenis pangan, terutama beras, dapat meningkatkan risiko terhadap
ketidakstabilan harga dan ketersediaan pangan. Diversifikasi konsumsi pangan
menjadi solusi untuk mengurangi ketergantungan ini dan mendukung ketahanan
pangan jangka panjang.
Selain
faktor ekonomi dan gizi, aspek sosial dan budaya juga mempengaruhi pola
konsumsi masyarakat. Preferensi pangan sering kali dipengaruhi oleh kebiasaan
turun-temurun, nilai budaya, serta faktor psikososial lainnya. Oleh karena itu,
sosialisasi dan edukasi mengenai pentingnya konsumsi pangan beragam perlu terus
dilakukan. PPH juga memiliki relevansi dalam mendukung keberlanjutan
lingkungan. Konsumsi pangan yang beragam dapat mengurangi tekanan terhadap
sumber daya alam tertentu dan mendorong sistem produksi pangan yang lebih
lestari. Misalnya, peningkatan konsumsi umbi-umbian lokal dapat mengurangi
ketergantungan terhadap padi yang membutuhkan air dalam jumlah besar.
Upaya
peningkatan skor PPH dapat dilakukan melalui berbagai program intervensi,
seperti pengembangan pertanian berbasis pangan lokal, promosi gizi seimbang,
serta pemberdayaan masyarakat dalam produksi dan konsumsi pangan yang sehat. Keterlibatan
berbagai pihak dalam implementasi PPH menjadi kunci keberhasilan program ini.
Pemerintah, akademisi, pelaku industri pangan, serta masyarakat memiliki peran
masing-masing dalam memastikan bahwa pola konsumsi pangan nasional berjalan
sesuai dengan prinsip keberagaman dan keseimbangan.
Selain
itu, monitoring dan evaluasi terhadap implementasi PPH perlu dilakukan secara
berkala untuk mengukur efektivitas kebijakan yang telah diterapkan. Data yang
dihasilkan dapat menjadi dasar dalam perumusan kebijakan yang lebih tepat
sasaran guna meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat. Dengan adanya
kesadaran dan komitmen bersama, diharapkan Pola Pangan Harapan dapat menjadi
landasan dalam mewujudkan ketahanan pangan yang berkelanjutan, meningkatkan
kesehatan masyarakat, serta mengurangi masalah gizi buruk di Indonesia
Definisi
Pola Pangan Harapan
Pola
Pangan Harapan (PPH) adalah susunan konsumsi pangan berdasarkan kontribusi
energi dari berbagai kelompok pangan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
gizi secara kuantitas, kualitas, dan keragaman. Konsep PPH diperkenalkan oleh
FAO-RAPA pada tahun 1988 dan kemudian dikembangkan oleh Departemen Pertanian
Republik Indonesia (Prasetyo et al., 2013; Saputro & Fidayani, 2020).
PPH
mengacu pada jenis dan jumlah pangan yang dianjurkan untuk dikonsumsi guna
mencapai keseimbangan gizi dengan mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi,
budaya, agama, dan cita rasa (Amaliyah, 2011; Syakbania & Wahyuningsih,
2018).
Selain
itu, PPH juga menjadi salah satu alat untuk menilai diversifikasi konsumsi
pangan di suatu wilayah dan melihat kecenderungan konsumsi masyarakat terhadap
jenis pangan tertentu. Dengan adanya PPH, dapat diketahui sejauh mana pola
konsumsi masyarakat sudah sesuai dengan prinsip gizi seimbang dan ketahanan
pangan yang berkelanjutan.
Skor
PPH dihitung berdasarkan komposisi konsumsi pangan masyarakat dibandingkan
dengan standar konsumsi pangan yang dianjurkan. Makin tinggi skor PPH, makin
mendekati keseimbangan konsumsi pangan ideal yang dapat mendukung kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat.
Dalam
perkembangannya, penerapan PPH tidak hanya berfokus pada aspek gizi, tetapi
juga menjadi bagian dari kebijakan pembangunan pertanian dan ketahanan pangan
di Indonesia. Berbagai program pemerintah seperti diversifikasi pangan,
pengembangan pangan lokal, dan peningkatan produksi pangan berbasis sumber daya
lokal telah diarahkan untuk mendukung pencapaian skor PPH yang lebih baik.
Ruang
Lingkup Pola Pangan Harapan
Pola
Pangan Harapan (PPH) merupakan suatu konsep yang bertujuan untuk mengarahkan
pola konsumsi masyarakat menuju keseimbangan gizi yang lebih baik dengan
mempertimbangkan keanekaragaman pangan, ketersediaan, serta pola konsumsi yang
ideal sesuai dengan kebutuhan tubuh. PPH dikembangkan sebagai pedoman untuk
memastikan masyarakat mengonsumsi berbagai kelompok pangan dalam proporsi yang
sesuai guna memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi yang dibutuhkan. Dalam
konteks ketahanan pangan nasional, PPH menjadi salah satu indikator penting
dalam mengevaluasi pola konsumsi pangan masyarakat dan dampaknya terhadap
status gizi serta kesehatan.
Ruang
lingkup PPH mencakup beberapa aspek utama yang saling berkaitan. Salah satu
aspek yang sangat ditekankan adalah keanekaragaman pangan, yaitu konsumsi
berbagai kelompok pangan yang terdiri dari serealia, umbi-umbian, pangan
hewani, kacang-kacangan, buah-buahan, sayuran, serta minyak dan lemak.
Diversifikasi pangan ini sangat penting untuk memastikan bahwa tubuh
mendapatkan asupan zat gizi makro dan mikro yang cukup, sehingga dapat
mendukung pertumbuhan, perkembangan, serta menjaga kesehatan secara optimal.
Sebagai contoh, konsumsi serealia seperti beras, jagung, dan gandum dapat
menjadi sumber utama energi, sementara pangan hewani seperti ikan, daging, dan
telur berperan penting dalam menyediakan protein berkualitas tinggi. Demikian
pula, kacang-kacangan seperti kedelai dan kacang tanah menjadi sumber protein
nabati yang baik, sedangkan buah dan sayuran berperan dalam menyediakan
vitamin, mineral, dan serat yang sangat dibutuhkan tubuh untuk berbagai fungsi
metabolisme.
Selain
keanekaragaman pangan, keseimbangan gizi juga menjadi fokus utama dalam PPH.
Pola konsumsi yang ideal harus mengandung jumlah energi yang cukup, dengan
proporsi karbohidrat, protein, lemak, serat, serta vitamin dan mineral yang
seimbang. Ketidakseimbangan konsumsi pangan dapat menyebabkan berbagai masalah
gizi, seperti kekurangan energi kronis (KEK), stunting, anemia, serta penyakit
tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan obesitas. Saat ini, salah satu
tantangan besar dalam pola konsumsi masyarakat adalah kecenderungan peningkatan
konsumsi pangan olahan yang tinggi gula, garam, dan lemak, namun rendah zat
gizi esensial. Oleh karena itu, PPH mengarahkan masyarakat untuk mengurangi
konsumsi pangan olahan yang berisiko bagi kesehatan dan meningkatkan konsumsi
pangan segar yang kaya akan nutrisi.
PPH
juga mencakup aspek ketersediaan dan akses pangan, yang sangat bergantung pada
kondisi produksi, distribusi, dan stabilitas pangan di suatu daerah.
Ketersediaan pangan yang memadai tidak hanya bergantung pada produksi domestik,
tetapi juga pada ketahanan sistem distribusi yang memastikan pangan sampai kepada
masyarakat dengan harga yang terjangkau. Akses terhadap pangan yang bergizi
juga sangat dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan sosial, di mana masyarakat
berpenghasilan rendah sering kali memiliki keterbatasan dalam memperoleh pangan
berkualitas. Dalam hal ini, intervensi kebijakan menjadi sangat penting,
seperti penyediaan subsidi pangan bergizi bagi kelompok rentan, promosi
diversifikasi pangan berbasis sumber daya lokal, serta pengembangan program edukasi
gizi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi pangan
yang sehat.
Lebih
lanjut, kebijakan dan intervensi gizi menjadi faktor pendukung utama dalam
implementasi PPH. Pemerintah memiliki peran besar dalam mengarahkan pola
konsumsi masyarakat melalui berbagai regulasi dan program, seperti kampanye
‘Isi Piringku’ yang menggantikan konsep 4 sehat 5 sempurna dengan pendekatan
yang lebih sesuai dengan kebutuhan gizi saat ini. Selain itu, kebijakan terkait
fortifikasi pangan, seperti penambahan zat besi pada tepung terigu dan yodium
pada garam, juga menjadi langkah penting dalam mengatasi defisiensi zat gizi
mikro yang masih banyak ditemukan di masyarakat. Program intervensi lainnya
yang berkaitan dengan PPH meliputi pemberian makanan tambahan (PMT) bagi ibu
hamil dan balita, kampanye konsumsi ikan untuk meningkatkan asupan protein
hewani, serta promosi pertanian berkelanjutan untuk mendukung ketahanan pangan
jangka panjang.
Aspek
keberlanjutan lingkungan juga menjadi bagian dari PPH, mengingat produksi
pangan yang tidak dikelola dengan baik dapat berdampak negatif terhadap
ekosistem. Sistem pertanian intensif yang bergantung pada penggunaan pestisida
dan pupuk kimia dalam jangka panjang dapat merusak kesuburan tanah serta
mencemari air dan udara. Oleh karena itu, PPH mendorong penerapan praktik
pertanian yang lebih ramah lingkungan, seperti penggunaan pupuk organik,
agroforestri, serta diversifikasi tanaman yang dapat meningkatkan ketahanan
pangan tanpa merusak keseimbangan alam. Selain itu, pengurangan limbah pangan
juga menjadi bagian dari implementasi PPH, karena pemborosan pangan yang tinggi
dapat menyebabkan ketidakseimbangan distribusi pangan dan peningkatan emisi
karbon dari limbah makanan.
Meskipun
PPH memiliki banyak manfaat dalam meningkatkan ketahanan pangan dan status gizi
masyarakat, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satu
tantangan terbesar adalah perubahan pola konsumsi akibat globalisasi dan
urbanisasi yang menyebabkan pergeseran preferensi masyarakat terhadap makanan
cepat saji dan instan. Hal ini diperparah dengan meningkatnya pemasaran produk
pangan ultra-olahan yang sering kali lebih murah dan lebih mudah diakses
dibandingkan dengan pangan segar yang lebih bernutrisi. Selain itu, tantangan
lainnya mencakup ketimpangan akses pangan antarwilayah, terutama di daerah
terpencil dan wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi, di mana keterbatasan
infrastruktur dan daya beli masyarakat menghambat distribusi pangan yang
berkualitas.
Perubahan
iklim juga menjadi faktor yang dapat menghambat keberhasilan PPH, karena
fluktuasi suhu, curah hujan yang tidak menentu, serta bencana alam dapat
mempengaruhi produksi pangan secara signifikan. Misalnya, kekeringan yang
berkepanjangan dapat mengurangi hasil panen padi dan tanaman pangan lainnya,
sementara banjir dapat merusak lahan pertanian dan mengganggu pasokan pangan.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih adaptif dalam mengelola
produksi dan distribusi pangan, termasuk pengembangan varietas tanaman yang
tahan terhadap perubahan iklim serta diversifikasi sumber pangan lokal yang
lebih adaptif terhadap kondisi lingkungan setempat.
Dengan
mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, keberhasilan implementasi PPH
membutuhkan sinergi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, akademisi,
industri pangan, serta masyarakat. Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan
yang mendukung diversifikasi pangan dan produksi pertanian berkelanjutan,
sementara sektor industri dapat berperan dalam menyediakan produk pangan yang
lebih sehat dan terjangkau. Di sisi lain, masyarakat juga perlu memiliki
kesadaran yang lebih tinggi mengenai pentingnya pola konsumsi pangan yang sehat
dan beragam. Melalui pendekatan multisektoral yang komprehensif, PPH dapat
menjadi strategi yang efektif dalam meningkatkan kualitas konsumsi pangan,
mencegah berbagai masalah gizi, serta mewujudkan ketahanan pangan yang
berkelanjutan di masa depan.
Tujuan
Pola Pangan Harapan
Menurut
Yayuk Farida Baliwati (2004:75), PPH bertujuan untuk menyusun pola konsumsi
pangan yang beragam dan seimbang guna memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Tujuan
spesifik dari PPH antara lain:
<!--[if !supportLists]-->1.
<!--[endif]-->Menilai ketersediaan dan konsumsi pangan
dalam jumlah dan komposisi menurut jenis pangan.
<!--[if !supportLists]-->2.
<!--[endif]-->Menjadi dasar perhitungan skor PPH sebagai
indikator mutu gizi dan keberagaman konsumsi pangan.
<!--[if !supportLists]-->3.
<!--[endif]-->Membantu perencanaan konsumsi dan
ketersediaan pangan yang berkelanjutan (Dinas Pertanian & Ketahanan Pangan
Kabupaten Jombang, 2006).
Indonesia
memiliki potensi sumber daya pangan yang beragam, namun pemanfaatannya belum
optimal. Konsumsi pangan rumah tangga masih didominasi oleh beras, sementara
keanekaragaman pangan yang seimbang belum sepenuhnya tercapai (Pangan, PPH
& Keluarga, 2007). Kendati Indonesia memiliki potensi sumber daya pangan
yang beragam, pola konsumsi masyarakat masih belum sepenuhnya mencerminkan
prinsip keanekaragaman pangan yang dianjurkan dalam Pola Pangan Harapan (PPH).
Tingginya ketergantungan pada beras sebagai sumber utama karbohidrat
mencerminkan kurangnya diversifikasi pangan, padahal berbagai sumber pangan
lokal seperti umbi-umbian, jagung, sagu, dan sorgum dapat menjadi alternatif
untuk meningkatkan keseimbangan gizi serta mengurangi risiko ketergantungan terhadap
satu jenis bahan pangan. Selain itu, konsumsi protein hewani dan nabati juga
masih belum optimal, terutama pada kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi
rendah, yang berisiko mengalami defisiensi protein dan zat gizi mikro seperti
zat besi dan zinc.
Dalam
konteks perencanaan pangan, PPH bertujuan untuk mendorong produksi dan konsumsi
pangan yang lebih beragam, sesuai dengan potensi sumber daya alam di setiap
wilayah. Dengan demikian, PPH tidak hanya berfungsi sebagai panduan konsumsi
pangan yang sehat, tetapi juga sebagai alat untuk meningkatkan ketahanan pangan
nasional melalui pemanfaatan sumber daya pangan lokal yang lebih optimal. Salah
satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah penguatan sistem pangan berbasis
lokal yang melibatkan petani, pelaku usaha pangan, serta masyarakat dalam upaya
memperluas akses terhadap pangan yang sehat dan bergizi.
PPH
juga memiliki peran strategis dalam mengatasi permasalahan gizi di Indonesia,
seperti stunting, anemia, dan obesitas. Melalui perhitungan skor PPH,
pemerintah dan pemangku kebijakan dapat mengevaluasi pola konsumsi masyarakat
serta menyusun intervensi yang lebih efektif dalam meningkatkan kualitas
konsumsi pangan. Skor PPH yang rendah dapat menjadi indikasi kurangnya
keseimbangan dan keanekaragaman konsumsi pangan, sehingga diperlukan kebijakan
yang lebih terarah, seperti edukasi gizi, program fortifikasi pangan, serta
subsidi bagi kelompok masyarakat rentan agar mereka memiliki akses terhadap
pangan bergizi dengan harga terjangkau.
Lebih
lanjut, PPH juga berkontribusi dalam mendukung pembangunan pertanian yang
berkelanjutan dengan mendorong produksi pangan yang lebih bervariasi dan ramah
lingkungan. Diversifikasi pangan yang didorong oleh PPH tidak hanya membantu
memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, tetapi juga berperan dalam menjaga
keseimbangan ekosistem dan mengurangi dampak negatif dari sistem pertanian
monokultur yang sering kali menyebabkan degradasi lahan dan ketergantungan pada
impor pangan. Oleh karena itu, sinergi antara kebijakan pangan, kesehatan, dan
pertanian sangat diperlukan untuk memastikan bahwa PPH dapat diimplementasikan
secara efektif guna mencapai ketahanan pangan dan gizi yang lebih baik bagi
seluruh lapisan masyarakat.
Perhitungan
Skor Pola Pangan Harapan
Skor
Pola pangan harapan (PPH) dihitung berdasarkan sistem penilaian PPH oleh
Kementerian Pertanian. Skor pola pangan
harapan (PPH) merupakan indikator mutu gizi konsumsi pangan dan keragaman
konsumsi pangan berdasarkan proporsi sumbangan energi. Kelompok bahan makanan
PPH meliputi: padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah
dan biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah serta lain-lain. <!--[if supportFields]>ADDIN CSL_CITATION
{"citationItems":[{"id":"ITEM-1","itemData":{"author":[{"dropping-particle":"","family":"Widodo","given":"Yekti","non-dropping-particle":"","parse-names":false,"suffix":""},{"dropping-particle":"","family":"Ernawati","given":"Fitrah","non-dropping-particle":"","parse-names":false,"suffix":""}],"container-title":"Penelitian
Gizi dan
Makanan","id":"ITEM-1","issue":"2","issued":{"date-parts":[["2017"]]},"page":"63-75","title":"(
Score of Desirable Dietary Pattern and
Association","type":"article-journal","volume":"40"},"uris":["http://www.mendeley.com/documents/?uuid=3aab6fa4-7e19-4a96-9087-506c8ad7d6dd"]}],"mendeley":{"formattedCitation":"(Widodo
and Ernawati, 2017)","plainTextFormattedCitation":"(Widodo
and Ernawati, 2017)","previouslyFormattedCitation":"(Widodo
and Ernawati,
2017)"},"properties":{"noteIndex":0},"schema":"https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json"}(Widodo and Ernawati, 2017)<!--[if supportFields]>
Penyusunan
skor dalam Pola pangan harapan memiliki tujuan rasionalisasi pola konsumsi
pangan anjuran yang terbagi ke dalam beberapa macam bagian pangan (protein,
vitamin, karbohidrat dan lainnya) dalam upaya pemenuhan gizi dan rasa.
Perhitungan skor PPH didasarkan pada data pola ketersediaan dikaitkan dengan
NBM (neraca bahan makanan). Hal ini dilakukan karena data inilah yang tersedia
secara berkala setiap tahun (Prasetyo dkk, 2013) <!--[if supportFields]>ADDIN CSL_CITATION
{"citationItems":[{"id":"ITEM-1","itemData":{"author":[{"dropping-particle":"","family":"Saputro","given":"Wahyu
Adhi","non-dropping-particle":"","parse-names":false,"suffix":""},{"dropping-particle":"","family":"Fidayani","given":"Yuli","non-dropping-particle":"","parse-names":false,"suffix":""}],"id":"ITEM-1","issued":{"date-parts":[["2020"]]},"page":"231-237","title":"Determinan
Pola Pangan Harapan Pada Keluarga Petani Di Kabupaten Klaten ( Studi Kasus Desa
Mandiri Pangan )","type":"article-journal"},"uris":["http://www.mendeley.com/documents/?uuid=fe8464a2-b53c-496d-9831-9a7d4508a43f"]}],"mendeley":{"formattedCitation":"(Saputro
and Fidayani, 2020)","plainTextFormattedCitation":"(Saputro
and Fidayani,
2020)","previouslyFormattedCitation":"(Saputro and
Fidayani,
2020)"},"properties":{"noteIndex":0},"schema":"https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-citation.json"}(Saputro and Fidayani, 2020)<!--[if supportFields]>.
Langkah-langkah
perhitungan skor pola pangan harapan adalah sebagai berikut:
<!--[if !supportLists]-->1.
<!--[endif]-->Menghitung jumlah energi masing-masing
kelompok bahan makanan dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan.
<!--[if !supportLists]-->2.
<!--[endif]-->Menghitung prosentase energi masing-masing
kelompok bahan makanan tersebut terhadap total energi (kalori) per hari dengan
rumus % terhadap total kalori = 13 Energi masing-masing kelompok bahan makanan
x 100% jumlah total energi
<!--[if !supportLists]-->3.
<!--[endif]-->Menghitung skor PPH tiap kelompok bahan
makanan dengan rumus: Skor PPH kelompok bahan makanan = % terhadap energi x
bobot.
<!--[if !supportLists]-->4.
<!--[endif]-->Menjumlahkan skor PPH semua kelompok bahan
makanan sehingga diperoleh skor PPH.
Tabel : Bobot perhitungan PPH
No |
Kelompok bahan makanan |
Bobot |
1 |
Padi-padian |
0.5 |
2 |
Umbi-umbian |
0.5 |
3 |
Hewani |
2.0 |
4 |
Minyak atau lemak |
1.0 |
5 |
Kacang-kacangan |
2.0 |
6 |
Buah/ biji berminyak |
0.5 |
7 |
Gula |
0.5 |
8 |
Sayur-sayuran |
2.0 |
Contoh
perhitungan pola pangan harapan :
Perhitungan
Pola Pangan Harapan (PPH) dalam penelitian ini menggunakan basic data dari
Neraca Bahan Makanan. Komponen dalam perhitungan skor PPH adalah kelompok
pangan, jumlah pangan dalam satuan gram/kapita/hari, jumlah pangan dalam satuan
kkal/kapita/hari, persen energi (%), persen AKE (% AKE), bobot, skor aktual,
skor AKE, skor maksimal dan skor PPH.
Tabel 2 perhitungan pola pangan
harapan ketersediaan pangan
Kelompok pangan
|
Perhitungan
skor pola pangan harapan |
|||||||||
g/kap/hari |
Kkal/kap/hari |
% |
% AKE |
bobot |
Skor
aktual |
Skor
AKE |
Skor
maks |
Skor
PPH |
||
Padi-padian |
252.36 |
908.00 |
68.04 |
37.83 |
0.5 |
34.02 |
18.92 |
25.0 |
18.92 |
|
Umbi-umbian |
72.23 |
94.62 |
7.09 |
3.94 |
0.5 |
3.55 |
1.97 |
2.5 |
1.97 |
|
Pangan hewani |
72.54 |
92.06 |
6.90 |
3.84 |
2.0 |
13.80 |
7.67 |
24.0 |
7.67 |
|
Minyak dan lemak |
0.54 |
3.85 |
0.29 |
0.16 |
0.5 |
0.14 |
0.08 |
5.0 |
0.08 |
|
Buah/biji berminyak |
0.00 |
0.00 |
0.00 |
0.00 |
0.5 |
0.00 |
0.00 |
1.0 |
0.00 |
|
Kacang-kacangan |
27.60 |
105.84 |
7.93 |
4.41 |
2.0 |
15.86 |
8.82 |
10.0 |
8.82 |
|
Gula |
24.96 |
90.85 |
6.81 |
3.79 |
0.5 |
3.40 |
1.89 |
2.5 |
1.89 |
|
Sayur dan buah |
191.06 |
42.15 |
3.16 |
1.76 |
5.0 |
15.79 |
8.78 |
30.0 |
8.78 |
|
Lain lain |
0 |
0 |
0 |
0 |
0.0 |
0.00 |
0.00 |
0.0 |
0.00 |
|
Total |
641.29 |
1334.48 |
100.00 |
55.72 |
|
86.57 |
48.13 |
100.00 |
48.13 |
|
Berdasarkan
hasil perhitungan skor Pola Pangan Harapan (PPH), dapat dilihat bahwa konsumsi
pangan masyarakat masih belum optimal dalam mencapai keseimbangan gizi yang
dianjurkan. Dari total konsumsi harian sebesar 641,29 gram per kapita,
kontribusi energi yang dihasilkan mencapai 1.334,48 kkal per kapita per hari,
dengan skor PPH total sebesar 48,13 dari skor maksimal 100.
Kelompok
pangan dengan kontribusi terbesar terhadap total energi adalah padi-padian,
yang menyumbang 908 kkal per kapita per hari atau sekitar 68,04% dari total
energi. Meskipun skor aktualnya cukup tinggi (34,02), dominasi padi-padian
dalam pola konsumsi menunjukkan ketergantungan yang masih besar terhadap beras
dan sejenisnya. Sementara itu, kelompok pangan yang seharusnya mendukung
keberagaman konsumsi seperti umbi-umbian dan pangan hewani masih relatif
rendah, masing-masing hanya menyumbang 7,09% dan 6,90% dari total energi.
Konsumsi
pangan hewani mencapai 72,54 gram per kapita per hari dengan kontribusi energi
sebesar 92,06 kkal, sehingga skor PPH yang diperoleh dari kelompok ini adalah
7,67 dari skor maksimal 24. Ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan hewani masih
jauh dari angka yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan protein dan
mikronutrien penting lainnya. Demikian pula, konsumsi sayur dan buah hanya
menyumbang 3,16% dari total energi, dengan skor aktual 15,79 dan skor PPH
sebesar 8,78 dari skor maksimal 30. Ini menandakan bahwa konsumsi sayur dan
buah masih di bawah standar ideal untuk mendukung keseimbangan gizi dan
kesehatan masyarakat.
Kelompok
kacang-kacangan memiliki kontribusi energi sebesar 7,93% dengan skor PPH 8,82
dari skor maksimal 10, menunjukkan bahwa konsumsi kacang-kacangan relatif baik
dibandingkan kelompok pangan lainnya. Namun, kelompok minyak dan lemak serta
gula memiliki skor PPH yang sangat rendah, masing-masing hanya 0,08 dan 1,89,
menandakan bahwa konsumsi keduanya masih dalam jumlah yang sangat sedikit
dibandingkan kebutuhan yang direkomendasikan.
Dari
hasil ini, dapat disimpulkan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat masih belum
beragam dan cenderung bergantung pada satu sumber pangan utama, yaitu
padi-padian. Untuk meningkatkan skor PPH dan mencapai pola pangan yang lebih
sehat dan berimbang, diperlukan upaya diversifikasi konsumsi dengan
meningkatkan asupan sayur, buah, pangan hewani, serta sumber karbohidrat
alternatif seperti umbi-umbian. Strategi intervensi gizi dan edukasi masyarakat
tentang pentingnya konsumsi pangan yang beragam perlu terus digalakkan guna
mendukung ketahanan pangan dan perbaikan status gizi masyarakat.
Kesimpulan
Pola
Pangan Harapan (PPH) merupakan konsep penting dalam mewujudkan ketahanan pangan
dan pemenuhan gizi seimbang bagi masyarakat Indonesia. Dengan mempertimbangkan
aspek keberagaman pangan, keseimbangan nutrisi, dan ketersediaan bahan pangan
lokal, PPH menjadi panduan dalam kebijakan diversifikasi pangan nasional.
Berbagai studi menunjukkan bahwa penerapan PPH masih menghadapi tantangan,
terutama dalam hal pola konsumsi masyarakat yang cenderung bergantung pada
beberapa jenis bahan pangan tertentu, seperti beras dan gandum. Oleh karena
itu, perlu adanya upaya lebih lanjut dalam sosialisasi, edukasi, dan kebijakan
yang mendorong diversifikasi pangan secara lebih luas.
Selain
itu, dukungan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan lokal, memperkuat
infrastruktur distribusi, serta memperbaiki regulasi yang berkaitan dengan
ketahanan pangan akan sangat berperan dalam keberhasilan implementasi PPH.
Sinergi antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, akademisi,
sektor swasta, dan masyarakat, menjadi kunci utama dalam mewujudkan pola pangan
yang lebih sehat, beragam, dan berkelanjutan di Indonesia.
Dengan
demikian, penerapan PPH yang optimal tidak hanya berkontribusi pada ketahanan
pangan nasional tetapi juga meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia
secara keseluruhan. Kebijakan yang berbasis bukti dan berorientasi pada
penguatan pangan lokal diharapkan dapat menjadi solusi dalam menghadapi
tantangan pangan di masa depan.
Daftrar Pustka
Amaliyah,
R. (2011). Pola Pangan Harapan dalam Perspektif Ketahanan Pangan.
Jakarta: Pustaka Gizi.
Badan
Ketahanan Pangan Nasional. (2016). Laporan Konsumsi Pangan Nasional 2016.
Jakarta: Kementerian Pertanian.
Kementerian
Pertanian. (2014). Statistik Konsumsi Pangan Nasional Tahun 2014. Jakarta:
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian.
Prasetyo,
A., Wicaksono, T., & Rahmawati, L. (2013). Implementasi Pola Pangan Harapan
dalam Kebijakan Ketahanan Pangan Indonesia. Jurnal Ketahanan Pangan, 8(2),
45-57.\
Putri,
R., Yuliani, R., & Hartono, S. (2017). Tren Konsumsi Pangan di Indonesia
dan Implikasinya terhadap Diversifikasi Pangan. Jurnal Gizi dan Pangan, 12(3),
150-162
Saputro,
E. & Fidayani, S. (2020). Evaluasi Penerapan Pola Pangan Harapan di
Berbagai Wilayah Indonesia. Jurnal Ilmu Pertanian, 15(1), 89-102.
Syakbania,
T. & Wahyuningsih, E. (2018). Skor Pola Pangan Harapan sebagai Indikator
Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia. Jurnal Pangan dan Gizi, 9(2), 67-80.
Undang-Undang
No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
S.,
A. (2012). Aspek Regulasi dalam Pengelolaan Keamanan Pangan di Indonesia.
Jakarta: Pustaka Pangan.