Abstrac
The development of social media has facilitated communication but also poses
serious challenges, including the rise of cyberbullying cases. This research aims
to analyze the impact of cyberbullying on mental health through a case study of
Choi Jin-Ri (Sulli), a South Korean artist who experienced severe psychological
pressure due to hate comments on social media, ultimately leading to her
decision to end her life. This study examines how mass media and social media
shape public opinion and social pressure on public figures, while highlighting the
importance of digital literacy, entertainment industry regulations, and media
responsibility. The analysis shows that cyberbullying has a significant impact,
causing stress, anxiety, and severe depression that worsen the victim's
psychological condition. This study recommends the need for stronger protection
systems from the entertainment industry and social media, as well as public
education on ethical and empathetic digital communication.
Keywords: Cyberbullying, Social media, Mental health, Mass communication,
Sulli
Abstrak
Perkembangan media sosial telah memberikan kemudahan dalam
berkomunikasi, namun juga menimbulkan tantangan serius berupa maraknya
kasus cyberbullying. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak
cyberbullying terhadap kesehatan mental melalui studi kasus Choi Jin-Ri
(Sulli), seorang artis Korea Selatan yang mengalami tekanan psikologis berat
akibat komentar kebencian di media sosial hingga memutuskan untuk
mengakhiri hidupnya. Studi ini mengkaji bagaimana media massa dan mediasosial berperan dalam membentuk opini publik dan tekanan sosial terhadap
figur publik, serta menyoroti pentingnya literasi digital, regulasi industri
hiburan, dan tanggung jawab media. Hasil analisis menunjukkan bahwa
cyberbullying memberikan dampak signifikan berupa stres, kecemasan,
hingga depresi berat yang memperburuk kondisi psikologis korban. Studi ini
merekomendasikan perlunya sistem perlindungan yang lebih kuat dari
industri hiburan dan media sosial, serta edukasi publik tentang komunikasi
digital yang etis dan empatik.
Kata kunci: cyberbullying, media sosial, kesehatan mental, komunikasi massa,
Sulli.
PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi memudahkan masyarakat
memperoleh informasi dan berkomunikasi secara cepat melalui smartphone
dan internet. Media sosial seperti Instagram, X, Facebook, dan WhatsApp
memudahkan koneksi, dengan 4,76 miliar pengguna aktif di tahun 2023
(Parwitasari, 2024). Media sosial mempermudah berbagi informasi, tetapi
juga rawan penyalahgunaan, seperti ujaran kebencian dan hoaks (Wati Anzani
2020). Selain itu, media sosial telah mengubah bentuk bullying menjadi
cyberbullying yang memalukan korban dan sulit dihapus (Robiatul Adawiyah,
2021).
Cyberbullying menggunakan teknologi informasi untuk
mempermalukan atau melukai korban secara online. Korban mengalami stres,
kecemasan, bahkan ingin bunuh diri (Andana Prasetiya Budi). Salah satu
contohnya adalah artis Korea Selatan, Sulli. Kasus cyberbullying di Korea
Selatan marak terjadi seiring modernisasi praktik bullying, dan dapat
mendorong korban bunuh diri (Khaira, 2020).K-Pop menjadi budaya populer yang rentan terhadap cyberbullying,
terutama di kalangan artis yang sering menjadi sasaran netizen. Sulli, anggota
girlband f(x), meninggal bunuh diri akibat tekanan mental yang dipicu
cyberbullying. Ia sering menjadi sasaran komentar negatif di Instagram dan
memiliki penyakit mental yang makin memburuk (Dwi Kurniawati, 2024).
Media massa dan media sosial memiliki peran besar dalam membentuk
citra dan tekanan terhadap individu, sehingga perlu tanggung jawab media dan
platform digital untuk menciptakan lingkungan komunikasi yang sehat. Kasus
Sulli menjadi pelajaran penting bagi dunia akademik, industri hiburan, dan
masyarakat untuk memperkuat regulasi, moderasi platform digital, dan
literasi digital agar komunikasi massa lebih etis dan manusiawi.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan
metode studi kasus. Objek kajian adalah kasus Choi Jin-Ri (Sulli), artis Korea
Selatan yang mengalami perundungan siber sebelum akhirnya meninggal
karena bunuh diri. Data dikumpulkan melalui studi literatur yang mencakup
jurnal ilmiah, pemberitaan media massa, dokumentasi media sosial, serta
laporan-laporan analisis sebelumnya terkait kasus Sulli dan fenomena
cyberbullying di industri hiburan Korea Selatan. Analisis dilakukan dengan
teknik interpretatif terhadap narasi media dan respons publik, untuk
memahami pola komunikasi massa serta dampaknya terhadap kondisi
psikologis korban. Penelitian ini juga didukung oleh teori komunikasi massa
dan teori dampak media untuk menjelaskan peran media dalam membentuk
persepsi dan tekanan sosial terhadap figur publik.HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis studi kasus Sulli, seorang artis Korea Selatan, mengungkap
dampak signifikan komunikasi massa digital terhadap kesehatan mental
selebritas. Sulli menjadi korban cyberbullying yang intens melalui media
sosial, khususnya setelah terlibat dalam film Real (2017) yang memicu
kontroversi akibat adegan intim yang dilakukan sendiri oleh Sulli, meskipun
awalnya dijanjikan menggunakan pemeran pengganti. Perubahan mendadak
dalam produksi tersebut memperparah tekanan psikologisnya, yang kemudian
diperparah oleh hujatan netizen yang masif di media sosial.
Pesan negatif berupa komentar kebencian, slut-shaming, dan ujaran
yang menyinggung kehidupan pribadi Sulli tersebar luas melalui media sosial
seperti Instagram dan Twitter. Tekanan publik ini memperburuk kondisi
mental Sulli, yang sebelumnya telah mengalami gangguan panik, kecemasan,
dan depresi. Dalam jurnal “Analisis Dampak Cyberbullying pada Kesehatan
Choi Jin-Ri (Sulli) Artis Korea dan Film Dokumenter Terakhirnya” (Dwi
Kurniawati, 2024), dijelaskan bahwa cyberbullying yang dialaminya sejak
keluar dari grup f(x) pada 2015 telah memicu tekanan psikologis mendalam
yang akhirnya berujung pada keputusan tragis mengakhiri hidupnya pada 14
Oktober 2019.
Kasus Sulli memperlihatkan media sosial sebagai saluran komunikasi
yang ambivalen. Di satu sisi, media digunakan untuk menyebarluaskan karya
dan kehidupan selebriti, tetapi di sisi lain, media juga menjadi saluran ujaran
kebencian yang sulit dikendalikan. Sulli sempat mencoba melakukan
perlawanan dengan melakukan siaran langsung melalui Instagram sambil
menangis, meminta netizen untuk berhenti menghujat. Namun, pesan tersebut
justru memperluas eksposur, menambah tekanan psikologis, dan memicu
diskursus publik yang semakin memojokkannya.
Situasi ini mencerminkan teori efek media yang menyatakan bahwa
paparan terhadap konten negatif dapat memengaruhi perilaku dan emosiindividu, terutama perempuan dalam industri hiburan yang sangat rentan
terhadap cyberbullying (Hinduja & Patchin, 2010). Penelitian Kowalski (2014)
juga menegaskan bahwa korban cyberbullying memiliki risiko depresi yang
lebih tinggi dibandingkan non-korban, dan tekanan ini berkontribusi terhadap
peningkatan risiko ideasi dan percobaan bunuh diri. Perempuan selebriti,
seperti Sulli, menghadapi beban ganda: tekanan publik yang tinggi dan norma
sosial yang sering tidak adil.
Selain aspek psikologis, kasus Sulli menyoroti lemahnya sistem
perlindungan bagi artis di industri hiburan Korea Selatan. Keputusan produksi
yang mendadak dalam film Real, yang memaksa Sulli melakukan adegan intim
sendiri, menunjukkan lemahnya regulasi yang melindungi artis dari
eksploitasi produksi yang tidak manusiawi. Media massa juga memiliki
tanggung jawab untuk memberitakan isu-isu sensitif dengan lebih etis dan
manusiawi agar tidak menambah tekanan psikologis bagi korban.
Lebih jauh, kasus Sulli mengingatkan pentingnya literasi digital di
kalangan pengguna media sosial agar lebih bijak dalam berkomentar. Platform
digital dituntut untuk meningkatkan moderasi konten, menyediakan fitur
pelaporan yang lebih efektif, dan menciptakan lingkungan komunikasi yang
lebih aman dan mendukung. Industri hiburan juga perlu menerapkan regulasi
yang lebih ketat, termasuk memastikan persetujuan eksplisit artis untuk
adegan-adegan yang berpotensi kontroversial.
Secara keseluruhan, kasus Sulli menegaskan bahwa komunikasi massa
digital bukan hanya saluran hiburan dan informasi, tetapi juga memiliki
potensi destruktif yang sangat nyata jika tidak diatur dengan baik. Pencegahan
cyberbullying memerlukan sinergi antara regulasi, edukasi, teknologi, dan
dukungan psikologis guna menciptakan ruang digital yang lebih empatik dan
aman bagi publik, khususnya bagi selebritas yang sering menjadi sasaran
komentar negatif.KESIMPULAN
Berdasarkan studi kasus yang dibahas, dapat disimpulkan bahwa
cyberbullying di media sosial berdampak signifikan terhadap kesehatan
mental korban, termasuk stres, kecemasan, depresi, bahkan hingga keputusan
untuk mengakhiri hidup. Kasus Sulli memperlihatkan bagaimana tekanan
industri hiburan, eksposur media yang tinggi, dan ujaran kebencian netizen di
media sosial saling terkait dan memperburuk kondisi psikologis korban.
Minimnya regulasi perlindungan artis, lemahnya moderasi konten di media
sosial, dan rendahnya literasi digital masyarakat menjadi faktor yang
memperparah dampak tersebut. Kasus ini menjadi bukti nyata pentingnya
menciptakan lingkungan komunikasi yang lebih empatik, manusiawi, dan
suportif agar kesehatan mental korban dapat terjaga.
SARAN
Sebagai tindak lanjut, diperlukan regulasi yang ketat dari pihak industri
hiburan untuk melindungi artis dari tekanan produksi yang berlebihan,
termasuk memastikan adanya persetujuan eksplisit terhadap adegan yang
berpotensi kontroversial. Media sosial juga perlu memperkuat sistem
moderasi konten, menyediakan fitur pelaporan yang efektif, serta kebijakan
perlindungan korban agar komunikasi digital lebih aman. Pengguna media
sosial diharapkan meningkatkan literasi digital dan empati dalam memberikan
komentar agar menghindari ujaran kebencian yang dapat melukai orang lain.
Pemerintah dan akademisi juga perlu mengedukasi masyarakat tentang
bahaya cyberbullying melalui kampanye literasi digital yang intensif serta
mendukung penelitian lebih lanjut mengenai dampak media sosial terhadap
kesehatan mental korban.DAFTAR PUSTAKA
Andana Prasetiya Budi, J. (n.d.). REPRESENTASI DAMPAK CYBERBULLYING
PADA KORBAN DALAM FILM BUDI PEKERTI (ANALISIS SEMIOTIKA
ROLAND BARTHES). KOMUNITAS: Jurnal Ilmu Komunikasi, 11(1).
Dwi Kurniawati, Khadijah Khadijah, Yasinta Citra Dewi Kurniasari, & Doan
Widhiandono. (2024a). Analisis Dampak Cyberbullying pada Kesehatan
Choi Jin-Ri (Sulli) Artis Korea dan Film Dokumenter Terakhirnya.
Harmoni: Jurnal Ilmu Komunikasi Dan Sosial, 2(1), 119–126.
https://doi.org/10.59581/harmoni-widyakarya.v2i1.2456
Hinduja, S., & Patchin, J. W. (2010). Bullying, cyberbullying, and suicide.
Archives of Suicide Research, 14(3), 206–221.
https://doi.org/10.1080/13811118.2010.494133
Khaira, U., Johanda, R., Utomo, P. E. P., & Suratno, T. (2020). Sentiment
Analysis Of Cyberbullying On Twitter Using SentiStrength. Indonesian
Journal of Artificial Intelligence and Data Mining, 3(1), 21.
https://doi.org/10.24014/ijaidm.v3i1.9145
Kowalski, R. M., Giumetti, G. W., Schroeder, A. N., & Lattanner, M. R. (2014).
Bullying in the digital age: A critical review and meta-analysis of
cyberbullying research among youth. Psychological Bulletin, 140(4),
1073–1137. https://doi.org/10.1037/a0035618
Parwitasari, T. A., Fitriono, R. A., & Budyatmojo, W. (2024). PENGARUH MEDIA
SOSIAL TERHADAP CYBERBULLYING DI KALANGAN REMAJA DI
INDONESIA THE INFLUENCE OF SOCIAL MEDIA ON CYBERBULLYING
AMONG TEENAGERS IN INDONESIA. https://doi.org/10.31764/jmk
Robiatul Adawiyah, D. P., & Munir, M. (2021). Respon Remaja Tentang Kasus
Cyberbullying Sulli Dan Goo Hara. Jurnal Komunikasi, 15(2), 125–136.
https://doi.org/10.20885/komunikasi.vol15.iss2.art4
Wati Anzani, R., & Khairul Insan Universitas Muhammadiyah Tangerang, I.
(2020). PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSI PADA ANAK USIA
PRASEKOLAH. In Jurnal Pendidikan dan Dakwah (Vol. 2).
https://ejournal.stitpn.ac.id/index.php/pandawa

