Oleh : Yessy Kurniati, SKM, M.Kes
Dosen peminatan PKIP
Stunting adalah salah satu masalah gizi di
Indonesia. Berdasarkan data dari bank dunia, Indonesia menempati urutan kedua
di Asia Tenggara, dengan prevalensi 31,8% di tahun 2020. Meskipun angkanya
terus menurun, angka tersebut masih jauh dari target. Di Tahun 2019, prevalensi
stunting adalah 27,7% dan di tahun 2020 menurun menjadi 24,4%.
Salah satu daerah di indonesia yang memiliki masalah
stunting adalah Kabupaten Jeneponto. Meski data terakhir menunjukkan penurunan
namun Kabupaten Jeneponto menempati peringkat pertama di Propinsi Sulawesi
Selatan. Pada tahun 2016, prevalensi stunting di Jeneponto adalah 48,4% dan
pada tahun 2021 sebesar 37,9%. Angka ini lebih tinggi dari angka nasional
Berdasarkan kerangka UNICEF, penyebab masalah gizi
adalah makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi. Studi menunjukkan
bahwa asupan protein lebih rendah pada anak yang mengalami stunting. Kelompok
yang memiliki asupan protein yang rendah memiliki prevalensi stunting 1,87
lebih besar bila dibandingkan kelompok yang tidak stunting. Studi yang lain
menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
stuntingadalahkonsumsi protein, konsumsi zink dan riwayat penyakit infeksi.
Demikian juga hasil penelitian pada anak usia 2-5 tahun di Bandar Lampung,
menunjukkan bahwa terdapathubungan antara asupan protein, vitamin A dan zat
besi dengan kejadian stunting. Hasil regresi logistik menunjukkan bahwa asupan
rendah protein adalah faktor risiko stunting. Stunting pada anak 3 kali lebih
sering terjadi pada anak dengan asupan protein yang rendah dan memiliki
kesempatan 89% bila dibandingkan dengan asupan protein yang baik. Asupan energi
dan protein memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting pada
balita usia 25-60 bulan di Desa Mangkung. Demikian pula dengan penelitian di
Sinjai Propinsi Sulawesi Selatan, faktor risiko stunting yang dominan adalah
asupan protein
Stunting juga berhubungan dengan penyakit infeksi.
Studi di India menunjukkan bahwa diare adalah prediktor dominan kejadian
stunting
Kacang gude merupakan salah satu jenis bahan pangan
lokal yang masih jarang dimanfaatkan. Kacang Gude mengandung protein yang cukup
tinggi. Salah satu daerah penghasil kacang Gude adalah Propinsi Sulawesi
Selatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kacang gude dapat diolah menjadi produk pangan inovatif.
Kacang gude mengandung protein yang tinggi dan asam
amino esensial seperti methionin, lisin dan triptopan
Hasil
riset sebelumnya menunjukkan bahwa biskuit biji labu kuning mengandung zat gizi
seperti karbohidrat sebesar 48,16 g, protein sebesar 11,20 g, lemak sebanyak
33,05 g, serat kasar sebanyak 1,64 g serat kasar, kadar air sebanyak 5,91 g dan kadar abu
sebesar 1,65 g, kandungan vitamin A sebesar 0,027 mg, Vitamin C sebesar 8,220
mg, Kalsium sebesar 6,080 mg, potassium sebesar 36,770 mg, klorin 46,230 mg,
molibdenum 0,5 mg dan zink sebesar 1,520 mg
Nilai
strategis dari biskuit berbasis kacang gude dan biji labu kuning adalah
mengoptimalkan sumber pangan lokal dan limbah agraris untuk mengatasi masalah
gizi. Kacang gude merupakan salah satu produk endemik di Sulawesi Selatan,
termasuk Kabupaten Jeneponto, yang belum dioptimalkan pemanfaatannya. Biji labu
kuning banyak dihasilkan dari wilayah pertanian di Sulawesi Selatan, namun biji
labu kuning juga belum dimanfaatkan dengan baik. Formulasi kedua bahan tersebut
menjadi biskuit tentunya akan meningkatkan nilai ekonomi dari bahan pangan
tersebut serta membantu mengatasi masalah gizi dengan sumber daya lokal yang
ada