oleh : Yessy Kurniati, SKM, M.Kes
Dosen Peminatan PKIP
Kisah persalinan pasti dimiliki setiap emak
di dunia ini. Tak terkecuali saya, seorang emak beranak tiga. Selama tiga sesi
melahirkan itu, saya memiliki banyak kenangan-kenangan unik. Kisah-kisah yang
selalu saya kenang. Meski kisah tersebut dibumbui intrik, dari intrik
sesungguhnya sampai intrik ekonomi
Kisah pertama, ketika melahirkan sulung
saya yang tercinta. Bocah berkulit legam, tetapi manis seperti gula merah.
Kulit dan wajahnya persis abinya. Tetapi sifat dan wataknya nyaris menyerupai
emaknya. Ketika melahirkan si sulung ini, sebagai kutu buku sejati, saya telah
melahap begitu banyak buku. Mengoleksi artikel-artikel melahirkan. Mulai dari
senam hamil, tips mengejan, tips melahirkn tanpa rasa sakit sampai tips
melahirkan dengan nyaman dan selamat. Ketika melahap semua teori-teori itu,
cuping hidung saya mengembang mak. Begitu pongah meyakinkan diri saya, ah saya
pasti bisa melahirkn. Toh saya sudah menguasai semua teorinya. Tibalah waktu
yang dinantikan, subuh itu setelah berjalan-jalan keliling kompleks, saya
merasa ada lendir yang keluar. Kagetlah saya mak. Jurus andalan pun saya
keluarkan. Tanya sama mister google. Dan saya pun dianjurkan untuk segera ke
rumah sakit bersalin.
Tibalah saya disana, lalu diperiksa oleh
bidan yang bertugas. Baru pembukaan satu, ok, perjuangan masih panjang. Huff.
Saya pun melanjutkan berjalan mengitari rumah sakit bersalin itu. Menjelang
siang saya sudah kelelahan berjalan. Berbaringlah saya di ruang persalinan,
sambil menelepon sahabat saya. Sambil menelepon mama saya. Sambil membaca buku
malah ya. Di sebelah tempat tidur saya, seorang emak berteriak-teriak karena
dia kesakitan. Ih si emak…kalem dikit napa mak. Saya gag mau ah kayak si emak
itu, nanti, apapun yang terjadi, saya tidak boleh teriak-teriak. Nanti saya
dibilangin cengeng lagi. Apa kata dunia. Saya harus perkasa dan menjaga citra
saya
Dan serangan kontraksi perlahan datang
menyerang. Sebagai amatiran dalam bidang persalinan ini, pada awalnya saya
masih bisa memanajemen kelakuan saya. Tetap bisa mengobrol dengan teman kantor
yang datang menjenguk. Masih senyum-senyum manis seperti tak terjadi apa-apa.
Saya cukup puas dengan pencitraan saya saat itu. Tapi tibalah serangan
kontraksi yang sesungguhnya. Saya hanya bisa terdiam. Tak mampu bicara. Senyum
saya pun hilang. Astagfirullah…sesakit inikah?
Dan dalam beberapa detik saja…semua
pencitraan saya hilang. Saya berteriak-teriak seperti emak yang habis dicopet.
Berteriak tanpa tedeng aling-aling. Hingga mungkin suara saya itu mengalahkan
suara-suara kendaraan di luar sana. Saya tidak peduli. Rasanya sakit sekali mak
Saya sebenanrnya emak bergolongan darah O
yang sok tegar meski terluka. Tapi ketika melahirkan waktu itu. Saya
betul-betul KO. Semua teori-teori yang saya hafalkan…lenyap…sirna…seperti debu
tertiup angin. Mama saya yang menemani saat ini…sudah tergugu menunggui saya.
Karena mungkin beliau tak pernah melihat saya sepayah itu. Suami saya hanya
bisa menangis. Saat itu saya betul-betul kelelahan, saya meminta kepada Allah..duhai
sekiranya saya bisa beristirahat dari kesakitan ini sebentar saja.
Ketika
saya terus berusaha, ternyata si sulung berhasil mencapai jalan lahir.
Rambut legamnya sudah kelihatan. Tetapi dia masih membutuhkan bantuan untuk
mendorongnya keluar. Saya harus mengedan mak. Dan situlah kebodohan saya
betul-betul terlihat. Saya sama sekali kebingungan. Tidak tahu mengedan. Saya
tidak tahu bagaimana mendorong bayi saya keluar. Meski sekeras apapun saya
mencoba, si sulung tetap terperangkap di jalan lahir. Ini intrik yang
sesungguhnya
Karena bingungnya, bu bidan pun berkata.
Ibu..kalau begini cara ibu mengedan, mati itu anakta di dalam. Hufftt…entah
kekuatan dari mana. Mungkin adrenalin-adrenalin yang hibernasi bangkit kembali.
Membuat saya menemukan cara, dengan dua kali dorongan membuat si sulung menjumpai dunia.
Saat melahirkan si tengah, saya harus
merasakan diinduksi. Karena si tengah ini sudah menunjukkan bahwa dia adalah
flegmatis melankolik bahkan ketika dia masih dalam kandungan. Sudah dua minggu
masa HPL, dan saya tidak merasakan kontraksi apapun. Maka oleh dokter saya pun
diminta untuk menjalani induksi. You know lah mak apa itu induksi. Kau tetap
harus berusaha untuk membuatnya bekerja maksimal. Maka saya pun berjalan
mengelilingi rumah sakit untuk mencari sakit kontraksi. Alhamdulillah cukup
bekerja, sampai tengah hari saya sudah mulai merasakan rasa sakit. Ketika
kelelahan, saya pun minta izin pada bu bidan untuk sekedar tidur siang karena
saya sudah capek berjalan kesana kemari demi sebuah kontraksi. Tapi bu bidannya
malah bilang, kalau rasa sakitnya hilang bu kita mulai lagi dari awal
prosedurnya. Whats? Oh emejing. Oke baiklah…Saya pun mengurungkan niat untuk
sekedar baring-baring itu. Dan melanjutkan lagi perjuangan saya mencari
kontraksi. Ini intrik yang sesungguhnya juga menurut saya
Saat melahirkan si bungsu, saya sudah lebih
tegar mak. Secara jam terbang sudah tinggi kan. Saya bukan amatiran lagi dalam
bidang ngedan-mengedan ini. Maka dengan perkasa saya meminta pak suami untuk
beraktifitas sebagaimana biasanya. Mengajar. Anak-anak juga menjalani
hari-harinya dengan biasa. Pak suami saya minta tak perlu menemani. Karena saya
sudah biasa di rumah sakit ini. Lagi pula baru pembukaan satu juga. Masih lama.
Ini adalah pertarungan saya sendiri dan bayi saya, maka biarlah kami berdua
yang menjalaninya. Kembali lagi episode mengelilingi rumah bersalin. Menyusuri
lorong demi lorong sambil berdzikir. Menekuri tulisan-tulisan yang terpampang
di dinding sembari memburu kontraksi. Alhamdulillah, rasa sakitnya sudah datang.
Saya pun berbaring di tempat tidur. Bu bidan datang memeriksa. Masih bukaan
lima bu. Maka bidan-bidan ini pun tetap asyik bekerja, merapikan peralatannya,
mengatur kembali obat-obatan. Sembari mengobrol. Kemudian saya pun diperiksa lagi.
Masih pembukaan lima. Kalau tidak maju-maju pembukaannya bu, kayaknya harus
dikonsul ke dokter ini. What? Mm…kalo dikonsul ke dokter…berarti saya terhitung
bersalin ditolong oleh dokter..dan itu tarifnya beda mak…bisa 3 kali lipat dibanding
tarif bersalin bersama bidan. Dan saya pun berbisik kepada si bungsu. Nak
keluar cepat. Terbatas tabungannya abi nak. Nanti tidak di aqiqah q kalau
melahirkan q dengan dokter. Dan dengan tergopoh-gopoh si bungsu pun segera
meluncur ke jalan lahir. Menyebabkan kontraksi yang hebat hanya dalam beberapa
detik saja. Saya pun mulai berteriak dan bahkan memukuli tempat tidur sampai
saya nyaris terjengkang. Kenapa q bu? Teriak ibu bidan. Mauma
melahirkan…cepat…teriak saya. Belum pi itu bu…masih pembukaan lima. Cepat
periksa…tolong periksa…kata saya sambil menhan rasa ingin mengedan. Bergegas bu
bidan memeriksa saya. Mereka kaget melihat pembukaan yang sudah lengkap dalam
waktu beberapa menit saja. Mereka terkesiap, karena sama sekali belum
bersiap-siap. Tahan bu…tahan dulu bu…bu bidan kocar-kacir mempersiapkan persalinan.
Akhirnya si bungsu pun menjumpai dunia karena bisikan emak tentang tabungan
yang terbatas. Dan ini adalah intrik ekonomi!