Intrik-Intrik Persalinan

  • 01:14 WITA
  • Administrator
  • Artikel

oleh : Yessy Kurniati, SKM, M.Kes

Dosen Peminatan PKIP


Kisah persalinan pasti dimiliki setiap emak di dunia ini. Tak terkecuali saya, seorang emak beranak tiga. Selama tiga sesi melahirkan itu, saya memiliki banyak kenangan-kenangan unik. Kisah-kisah yang selalu saya kenang. Meski kisah tersebut dibumbui intrik, dari intrik sesungguhnya sampai intrik ekonomi

Kisah pertama, ketika melahirkan sulung saya yang tercinta. Bocah berkulit legam, tetapi manis seperti gula merah. Kulit dan wajahnya persis abinya. Tetapi sifat dan wataknya nyaris menyerupai emaknya. Ketika melahirkan si sulung ini, sebagai kutu buku sejati, saya telah melahap begitu banyak buku. Mengoleksi artikel-artikel melahirkan. Mulai dari senam hamil, tips mengejan, tips melahirkn tanpa rasa sakit sampai tips melahirkan dengan nyaman dan selamat. Ketika melahap semua teori-teori itu, cuping hidung saya mengembang mak. Begitu pongah meyakinkan diri saya, ah saya pasti bisa melahirkn. Toh saya sudah menguasai semua teorinya. Tibalah waktu yang dinantikan, subuh itu setelah berjalan-jalan keliling kompleks, saya merasa ada lendir yang keluar. Kagetlah saya mak. Jurus andalan pun saya keluarkan. Tanya sama mister google. Dan saya pun dianjurkan untuk segera ke rumah sakit bersalin.

Tibalah saya disana, lalu diperiksa oleh bidan yang bertugas. Baru pembukaan satu, ok, perjuangan masih panjang. Huff. Saya pun melanjutkan berjalan mengitari rumah sakit bersalin itu. Menjelang siang saya sudah kelelahan berjalan. Berbaringlah saya di ruang persalinan, sambil menelepon sahabat saya. Sambil menelepon mama saya. Sambil membaca buku malah ya. Di sebelah tempat tidur saya, seorang emak berteriak-teriak karena dia kesakitan. Ih si emak…kalem dikit napa mak. Saya gag mau ah kayak si emak itu, nanti, apapun yang terjadi, saya tidak boleh teriak-teriak. Nanti saya dibilangin cengeng lagi. Apa kata dunia. Saya harus perkasa dan menjaga citra saya

Dan serangan kontraksi perlahan datang menyerang. Sebagai amatiran dalam bidang persalinan ini, pada awalnya saya masih bisa memanajemen kelakuan saya. Tetap bisa mengobrol dengan teman kantor yang datang menjenguk. Masih senyum-senyum manis seperti tak terjadi apa-apa. Saya cukup puas dengan pencitraan saya saat itu. Tapi tibalah serangan kontraksi yang sesungguhnya. Saya hanya bisa terdiam. Tak mampu bicara. Senyum saya pun hilang. Astagfirullah…sesakit inikah?

Dan dalam beberapa detik saja…semua pencitraan saya hilang. Saya berteriak-teriak seperti emak yang habis dicopet. Berteriak tanpa tedeng aling-aling. Hingga mungkin suara saya itu mengalahkan suara-suara kendaraan di luar sana. Saya tidak peduli. Rasanya sakit sekali mak

Saya sebenanrnya emak bergolongan darah O yang sok tegar meski terluka. Tapi ketika melahirkan waktu itu. Saya betul-betul KO. Semua teori-teori yang saya hafalkan…lenyap…sirna…seperti debu tertiup angin. Mama saya yang menemani saat ini…sudah tergugu menunggui saya. Karena mungkin beliau tak pernah melihat saya sepayah itu. Suami saya hanya bisa menangis. Saat itu saya betul-betul kelelahan, saya meminta kepada Allah..duhai sekiranya saya bisa beristirahat dari kesakitan ini sebentar saja.

Ketika  saya terus berusaha, ternyata si sulung berhasil mencapai jalan lahir. Rambut legamnya sudah kelihatan. Tetapi dia masih membutuhkan bantuan untuk mendorongnya keluar. Saya harus mengedan mak. Dan situlah kebodohan saya betul-betul terlihat. Saya sama sekali kebingungan. Tidak tahu mengedan. Saya tidak tahu bagaimana mendorong bayi saya keluar. Meski sekeras apapun saya mencoba, si sulung tetap terperangkap di jalan lahir. Ini intrik yang sesungguhnya

Karena bingungnya, bu bidan pun berkata. Ibu..kalau begini cara ibu mengedan, mati itu anakta di dalam. Hufftt…entah kekuatan dari mana. Mungkin adrenalin-adrenalin yang hibernasi bangkit kembali. Membuat saya menemukan cara, dengan dua kali dorongan  membuat si sulung menjumpai dunia.

Saat melahirkan si tengah, saya harus merasakan diinduksi. Karena si tengah ini sudah menunjukkan bahwa dia adalah flegmatis melankolik bahkan ketika dia masih dalam kandungan. Sudah dua minggu masa HPL, dan saya tidak merasakan kontraksi apapun. Maka oleh dokter saya pun diminta untuk menjalani induksi. You know lah mak apa itu induksi. Kau tetap harus berusaha untuk membuatnya bekerja maksimal. Maka saya pun berjalan mengelilingi rumah sakit untuk mencari sakit kontraksi. Alhamdulillah cukup bekerja, sampai tengah hari saya sudah mulai merasakan rasa sakit. Ketika kelelahan, saya pun minta izin pada bu bidan untuk sekedar tidur siang karena saya sudah capek berjalan kesana kemari demi sebuah kontraksi. Tapi bu bidannya malah bilang, kalau rasa sakitnya hilang bu kita mulai lagi dari awal prosedurnya. Whats? Oh emejing. Oke baiklah…Saya pun mengurungkan niat untuk sekedar baring-baring itu. Dan melanjutkan lagi perjuangan saya mencari kontraksi. Ini intrik yang sesungguhnya juga menurut saya

Saat melahirkan si bungsu, saya sudah lebih tegar mak. Secara jam terbang sudah tinggi kan. Saya bukan amatiran lagi dalam bidang ngedan-mengedan ini. Maka dengan perkasa saya meminta pak suami untuk beraktifitas sebagaimana biasanya. Mengajar. Anak-anak juga menjalani hari-harinya dengan biasa. Pak suami saya minta tak perlu menemani. Karena saya sudah biasa di rumah sakit ini. Lagi pula baru pembukaan satu juga. Masih lama. Ini adalah pertarungan saya sendiri dan bayi saya, maka biarlah kami berdua yang menjalaninya. Kembali lagi episode mengelilingi rumah bersalin. Menyusuri lorong demi lorong sambil berdzikir. Menekuri tulisan-tulisan yang terpampang di dinding sembari memburu kontraksi. Alhamdulillah, rasa sakitnya sudah datang. Saya pun berbaring di tempat tidur. Bu bidan datang memeriksa. Masih bukaan lima bu. Maka bidan-bidan ini pun tetap asyik bekerja, merapikan peralatannya, mengatur kembali obat-obatan. Sembari mengobrol. Kemudian saya pun diperiksa lagi. Masih pembukaan lima. Kalau tidak maju-maju pembukaannya bu, kayaknya harus dikonsul ke dokter ini. What? Mm…kalo dikonsul ke dokter…berarti saya terhitung bersalin ditolong oleh dokter..dan itu tarifnya beda mak…bisa 3 kali lipat dibanding tarif bersalin bersama bidan. Dan saya pun berbisik kepada si bungsu. Nak keluar cepat. Terbatas tabungannya abi nak. Nanti tidak di aqiqah q kalau melahirkan q dengan dokter. Dan dengan tergopoh-gopoh si bungsu pun segera meluncur ke jalan lahir. Menyebabkan kontraksi yang hebat hanya dalam beberapa detik saja. Saya pun mulai berteriak dan bahkan memukuli tempat tidur sampai saya nyaris terjengkang. Kenapa q bu? Teriak ibu bidan. Mauma melahirkan…cepat…teriak saya. Belum pi itu bu…masih pembukaan lima. Cepat periksa…tolong periksa…kata saya sambil menhan rasa ingin mengedan. Bergegas bu bidan memeriksa saya. Mereka kaget melihat pembukaan yang sudah lengkap dalam waktu beberapa menit saja. Mereka terkesiap, karena sama sekali belum bersiap-siap. Tahan bu…tahan dulu bu…bu bidan kocar-kacir mempersiapkan persalinan. Akhirnya si bungsu pun menjumpai dunia karena bisikan emak tentang tabungan yang terbatas. Dan ini adalah intrik ekonomi!